20170501

Mbakyu

Found an old note that struck me hard. Really hard. 

Di pinggir sungai, di depan pasir bahan bangunan. Malam ini aku mengusir lapar.
Ah suara air itu bukanlah melankoli malam. Malam ini malam yang kuat, berkat Mbakyu ku yang satu ini. Yang menemaniku mengusir lapar. Mbakyu ku si penjual mie baso.

Belum lama aku kenal, malah tidak pernah kenal. Tapi setidaknya aku hafal, Mbakyu ku ini yang badannya gemuk kulitnya hitam, rambutnya pula hitam diikat panjang. Sebelum meladangiku ditangannya ada benda yang kuhafal, rokok yang menyala. Jika aku datang sedang tak banyak pengunjung, selalu kutemuinya sedang menerawang sambil mengasap benda itu. Di pinggir sungai, di depan pasir bahan bangunan, Mbakyu ku ini mencari makan.

Harga mie basonya lima ribu saja. Dengan baso yang besar dan beberapa gelintir baso kecil-kecil. Mienya banyak. Sayurnya bisa minta yang banyak. Yang makan disini pun biasanya banyak. Seperti sekarang ini. Aku menikmati obrolan-obrolan yang muncul dari orang yang makan disini. Menaruhku pada benarnya kehidupan, benar-benar kehidupan yang nyata. Atau sering sebut itu realitas. Mereka adalah kaum Mbakyu ku. Yang sepertinya makan disini adalah istimewa, hadiah buat anaknya, atau hadiah buat ulangtahun pernikahannya. Disini, di mie baso yang lima ribu saja. Sedang aku disini dalam rangka menghemat. Dan ternyata yang lima ribu itu yang spesial bukan yang biasa.


Padahal kalau ayahku tahu dia akan mencibir. Makanan macam apa ini? 

Ya, vetsinnya banyak garamnya juga mienya entah higienis atau tidak saosnya yang sebotol besar murah saja daging basonya entah segar entah tidak. Rasanya begitu khas, begitu terasa murahnya, membengkakan amandelku, tapi menyentuh sanubariku. Tempatnya bukan yang nyaman serta enak disinggahi, di pinggir sungai, di depan pasir bahan bangunan, bisa saja itu pasir-pasir terbang ke mangkukku tanpa kelihatan.

Malam ini mbakyu ku sedang tidak beruntung, listrik dari rumah yang ditumpangi buat gerobak ini sedang padam. Jadi dipasanglah lilin, remang-remang.


Pengunjung yang banyak ini saling berbicara, bahasa sunda tentunya. Ada yang baru beli handphone, yang murah bondling dengan provider itu. Lalu mereka membicarakan kelebihan-kelebihannya. Apa mereka kenal blackberrymessenger? Aku ragu. Tapi muka-mukanya itu pancarkan bahagia. Aku jadi ikut senang. Ada lagi yang sedang menasehati anaknya untuk belajar, jika ulangannya bagus akan diajak ia ke Griya oleh ibunya. Apa, Griya? Aku ragu mereka tahu Paris van Java disana. Juga anak yang ingin mencolok baso untuk dibawa kerumahnya, barangkali ia masih lapar. Tapi ayahnya bilang, "eeh atos atos!" Sudah-sudah. Mukanya pancarkan, kalau aku punya uang akan kubelikan semangkuk lagi, nak. Padahal di kantung bajuku mungkin cukup uang untuk mentraktir mereka berdua. Si Bapak itu memarahi anaknya yang ingin mencolok baso padahal seribu rupiah saja.


Datang lagi pengunjung dari kaumnya, menanyakan Mbakyu ku, "wah sudah pakai lpg sekarang?" Mbakyu ku sumringah lalu bilang iya. Dan mereka mengobrol tentang kebijakan pemerintah yang satu itu. Tigabelas ribu rupiah untuk satu tabung kecil adalah jumlah yang banyak ternyata, sampai mereka terus membicarakan tentang itu. Padahal bekalku sehari saja lebih banyak dari itu.


Semuanya menjadi ironi. Kemarin malam aku yang menjadi keparat buat mereka. Ketika Mbakyu ku ini menerawang, mungkin memikirkan biaya sekolah anaknya, biaya kontrakan, ingin pulang ke kampung atau apa, aku sedang duduk nyaman di tempat ber-AC yang memutar film. Biaya masuknya bisa buat bayar lpg tiga tabung.


Ah apapun. Yang penting ini mie aku habiskan.


Mbakyu ku ini kembali bersantai dan mengasap. Ingin sekali aku bilang, Mbakyu biaya rumah sakit itu mahal, buat apa kau sakiti paru-parumu. Tapi sudahlah tentang sakit dan umur siapa yang tahu. Asap ini juga bisa membuatku berpikir, berpikir lebih jauh dan dalam.


Mungkin Mbakyu menyadari sedari tadi aku diam karena datang hanya sendiri. Lalu dia mengajakku berbicara meski basa-basi. "Neng masih sekolah?" Aku jawab "Iya". "Sekolah dimana?" Aku beritahu sekolahku. Dia bilang wah, aku hanya tersenyum. Dia tanya bayarannya berapa. Aku jawab. Ekspresinya lebih wah lagi, yang sekarang aku tidak tersenyum tapi tanya kenapa. "Tidak sanggup", Mbakyu ku bilang. 


Lalu dia bertanya, "Neng itu sekolah negeri atau swasta kok sampai segitu". Ya kujawab saja negeri. Mbakyu ku ini yang giliran tersenyum. Ah tak usah dilanjutkan, satu sama lain sama-sama tahu. Aku pun ikut tersenyum. Seakan ketidakberesan merupakan kelumrahan.

Baru sebentar begitu Mbakyu ku sibuk lagi. Melayani, meladangi. Pembeli pun agaknya puas. Mereka simbiosis mutualisme.


Baiklah Mbakyu, kalau kau tidak cukup berdaya, aku yang akan maju. Masih ada kesempatan bagiku untuk berdiri dan menjadi yang didengarkan. Ya, kaummu memberikan begitu banyak energi tanpa kalian tahu. Doakan aku, mbakyu.


Di pinggir sungai, di depan pasir bahan bangunan, aku belajar.


1 December 2009

No comments: