20181113

Dari Sisi Aku

Why is it that sometimes people have feelings towards each other, but never end up together?

Rasa tidak dapat dienyahkan. Tapi dapat dijejaki. Diurai pelan-pelan. Hingga akhirnya sadar aku tidak lagi menyelam. Aku sudah kembali di daratan.

Begitulah mungkin yang terjadi sebulan kemarin. Sebulan yang bisaku bilang adalah penuh dengan keajaiban. Ajaib adalah hal yang terjadi di luar kepatutan. Yang terjadi melanggar norma keharusan. Kamu perlu tahu. Hidupku penuh kejaran akan kepatutan. Apalagi dengan keharusan.

Tapi tidak dengan sebulan kemarin.

Sejujurnya, aku tidak menyesal. Tapi tidak juga mau mengulang.

Semua bermula dari aku yang bosan. Aku sadar dunia penuh dengan berbagai macam orang. Aku hanya ingin kenal. Di luar dari yang selama ini aku tahu, bukan yang aman-aman.

Duniaku sempit. Hampir semua orang tahu sama tahu. Hampir semua orang memiliki pertemanan yang beririsan. Orang-orang yang menganggap dirinya jauh dari kebodohan. Yang merasa lebih baik sendiri daripada itu kesetiakawanan. Yang fokus mengejar kemapanan. Menggelinjang kala membayangkan ketidakcukupan. Dengan yang seperti itu, aku sudah kenyang.

Maka aku mencoba membuka diri. Setidaknya, sebatas itu niatku di awal.

Hingga kemudian muncul kamu pada suatu malam.

Tidak ada yang luar biasa. Belum terlihat batang hidung si keajaiban. Namun aku tahu aku merasa senang. Masih ada jiwa yang dapat diajak berteman. Tanpa persyaratan.

Percik keajaiban mulai datang kala kamu menawarkan jemputan. Jujur kala itu aku bimbang. Apa yang sedang kulakukan?

Tapi aku ingat kamu bilang bahwa tidak ingin macam-macam. Hanya ingin berteman. Maka setidaknya disitu kita satu pikiran. Kemudian aku pun mengiyakan. Aku biarkan seorang yang belum ku kenal untuk mengetahui dimana aku bekerja dan dimana aku tinggal. Apa lagi itu jika bukan percik keajaiban?

Karena kita sudah pernah bertemu, meskipun aku belum lihat muka kamu, aku jadi tahu bahwa setidaknya kamu nyata, tidak maya. Lain-lainnya tidak terlalu aku pikirkan. Aku juga bukan tipe perempuan yang kesepian. Aku bahagia dengan diriku sendiri. Bila nanti dapat menemani dan ditemani, itu bonus saja.

Pertemuan kedua, masih jelas dalam ingatan. Aku memakai baju tidur dengan jaket seadanya. Tidak ada usaha. Tak apa, aku pikir. Namanya berteman bukan kosmetik yang utama. Bila pun aku tidak cantik dan kamu jadi enggan, ruginya bukan di aku. Aku malah beruntung terhindar dari mahluk yang gemar pada kemasan.

Sekali bertemu kamu langsung bercerita tentang ayahmu. Aku disitu banyak diam terpaku. Aku juga anak ayah. Kehilangan beliau pasti akan mengubah hidupku dan seisinya. Mungkin kamu juga begitu. Maka aku mendengar, mengambil pelajaran. Sepertinya aku bisa mulai percaya kamu, karena kamu percaya padaku lebih dulu.

Pertemuan ketiga, keempat, dan selanjutnya, tidak akan aku uraikan satu-satu. Bukan karena aku tidak ingat. Bukan. Tapi aku anggap semuanya adalah satu kesatuan. Sebuah kesatuan dalam balutan keajaiban.

Sudah hampir dua tahun aku betul-betul tidak merasakan apa yang kemarin aku rasa. Jujur aku sempat hampir lupa. Lupa rasanya bagaimana itu nyaman dapat dengan jumawa menjalari hati. Tanpa harus kamu lakukan apa-apa. Tanpa aku harus berusaha.

Lupa akan rasa ketenangan yang kita sama-sama bawa. Seakan kalau bersama, bagaimana pun kerasnya dunia akan bisa kita jalani.

Lupa rasanya candu pada kehadiran sebuah jiwa. Jiwa yang ternyata sama-sama mengingini.

Ketika itu aku malu pada waktu. Ia masih begitu muda tapi rasaku sudah begitu dalam. Tapi aku lihat kamu. Yang begitu yakin. Yang begitu bernyali. Hingga rasa malu ku itu tidak ada gunanya.



Sampai pada waktunya, percik keajaiban liar membakar dirinya sendiri. Hingga padam. Hingga menjadi abu.

Aku dan prinsipku, malam itu menangis sejadi-jadinya. Aku merasa dikhianati. Oleh fakta yang tersembunyi. Oleh hal yang tidak kuketahui. Yang ternyata kamu tutupi.

Aku kecewa. Amat kecewa. Modal ketenangan dan kepercayaan itu seperti dikali nol. Habis. Aku jadi tidak tahu apa yang bisa aku percaya dan tidak dari kamu. Aku jadi sadar bahwa sesungguhnya aku dan kamu adalah orang yang tidak kenal satu sama lain. Aku tidak tahu kamu.

Aku tidak pernah membayangkan diriku ada di posisi seperti itu. Dan aku tidak mau ada disitu.

Aku berhak mendapatkan cinta dengan cara yang lebih baik. Mungkin begitu juga kamu. Tidak seperti itu.

Aku juga tidak percaya dengan diriku sendiri. Sangat ingin aku balas pesan-pesan kamu. Tapi aku tahu, sekali aku meladenimu lagi, kita tidak akan pernah selesai. Dan pada saat itu, perasaanku ke kamu belum berubah. Masih ada. Masih seperti itu.

Maka aku putuskan semua jalur komunikasi kita. Lebih baik demikian. Aku perlu menghentikan kecanduanku pada kamu. Biar kamu tahu, inilah yang patut untuk dilakukan. Dalam keadaan seperti itu, menghentikan rasa kita jadi sebuah keharusan. Kamu sudah tahu. Hidupku penuh kejaran akan kepatutan. Apalagi dengan keharusan.

Hari terus berjalan. Tidak mudah memang. Tapi aku tahu, setidaknya aku melakukan hal yang benar.

Hingga tiba hari ulang tahunku. Kamu yang pertama kali mengirimkan ucapan. Pagi harinya aku berpikir, apa yang aku rasakan ke kamu saat itu?

Bagiku, rasa yang kukira dalam itu ternyata sudah mendangkal. Aku lihat jajaran gambar virtualmu, tidak lagi begitu menyengat di hati. Maka kemudian aku balas ucapanmu, dengan kata terima kasih.

Dari situ aku mulai membuka diri lagi padamu. Meski awalnya sulit, karena dari sedih aku merasa kecewa. Dari kecewa aku kemudian marah. Dari marah barulah aku merasa biasa saja. Seperti sekarang ini.

Sekarang ini aku harus berterima kasih kepadamu, dan barangkali meminta maaf. Terima kasih telah hadir dan mengingatkan bahwa aku masih punya hati. Yang masih berfungsi. Yang masih bisa menyayangi. Terima kasih juga telah mendewasakan aku, tepat di umur yang ke 26 ini, aku merasa jauh lebih dewasa daripada aku setahun yang lalu.

Lalu maaf, apabila ada cara-caraku yang membuat kamu tersakiti. Semoga kamu tahu, tidak ada sedikit pun niat dariku untuk membuat kamu semakin menderita. Aku hanya berusaha melakukan hal yang baik untukmu kedepannya, dan juga untuk aku.


It must have been love, but it's over now.