baca notes sendiri.
bahkan pelajaran geografi tentang epirogenesa negatif-positif aja gue jadiin tulisan.
oh, I used to be soo poetic.
disalahsatu komen gue bilang,
"hmm pengennya fisip ui. doain yaaa. hehe"
and here I am now.
Life's good.
20110329
20110323
knowledge is power but character is more
diambil dari: dike's tumblr.
16 Juli 2007. saya diterima sebagai siswa SMA Negeri 3 Bandung. Sekolah yang saya impikan selama setahun terakhir dikelas 3 SMP.
Tahun pertama, saya terkaget-kaget dengan lingkungan baru ini. Teman yang bisa menyelesaikan berbagai macam soal, tapi ga pernah nyatet. Lalu saya pun berteman dengan orang-orang luar biasa. orang-orang yang percaya kalau dengan membuat mimpi tetap hidu,maka kita bisa survive di tempat ini. yeaaah. i’m so lucky to being apart of this almamater.
Tahun kedua, saya mulai mengeksplor diri. Untuk melewati batas diri dan menjadi manusia yang siap untuk menghadapi tantangan hidup. Di tahun kedua ini,saya mulai sering panas kalau ada orang yang ngeremehin atau nantang saya, dalam hal apapun.
Tahun ketiga, tahun yang tidak pernah ingin saya lewati. tapi inilah tahun penting menuju cita-cita yang sudah kita andai-andai sejak masuk sekolah ini. Teman-teman mulai belajar hingga lupa waktu makan, main, keluarga, pacar, tapi gak lupa waktu solat. karena mesjid dan mushola akhwat selalu penuh di waktu solat. bahkan kelas sering berganti fungsi menjadi tempat solat. ada pula orang-orang yang melupakan waktu satnite-nya untuk ngedate ama mafikibi. hahaha. emang tahun gila. tahun ketika setiap orang tanpa sadar menjadi sangat teramat egois. tapi itu semua menjadi sangat indah. indah.
knowledge is power but character is more.
karakter. ya itulah yang dibangun lingkungan belitung barat ini.
hingga menjadi orang-orang yang tahan banting, siap untuk persaingan yang lebih kompetitif di luar sana, siap untuk menghadapi hambatan dan tantangan.
ready for a real life and a real world.
Damn, I can't agree more.
20110318
Un- and -able
Bagian kiri kuku jari tengah gue terkelupas-kelupas kering karena udah lama ga pake hand and nail lotion. Terus akhirnya gue kelupasin tapi malah jadi sakit. Sakit kalau dipake nulis. Jadi nulisnya gamau pake pulpen. Karena sakit. Karena hand and nail lotion abis jadi gamau nulis pake pulpen. Karena gamau nulis pake pulpen binder jadi kosong. Binder minggu keenam ini menyedihkan keadaannya dibanding dengan minggu-minggu sebelumnya yang padat sesak dengan catatan-catatan centil berbau akademis. Binder gue jadi kosong. Karena udah lama ga pake hand and nail lotion.
Bukan gue ga mampu beli tapi sebenernya emang ga mampu. Dengan harga yang sama bisa buat makan tiga hari. Jadi mendingan gue makan tiga hari. Binder gue jadi kosong. Karena gue lebih pilih makan. Tiga hari.
Padahal gue juga bukan orang yang suka makan. Tapi gue gendut. Gue gendut padahal ga suka makan. Ga suka makan padahal gue suka nulis. Tapi nulis yang tinggal diketik-ketik. Jadi ga perlu hand and nail lotion. Sama seperti gue suka nyanyi.
Sama seperti gue suka observasi.
Gue terkenal cuek. Ga. Gue ga terkenal. Tapi cueknya terkenal. Siapa yang gatau cuek. Siapa yang gatau cuek bebek. Siapa yang gatau donal bebek.
Gue cuek dan simpel. Kata siapa. Kata orang yang mengenal dengan baik esensi kata cuek dan simpel. Kata orang yang mengenal dengan baik esensi diri gue, gue ga cuek ga simpel. Tapi gaada orang yang mengenal dengan baik esensi diri gue. Karena gue ga terkenal.
Jadi ceritanya gue lagi jalan kaki sendirian jam setengah dua belas malam dari kampus menuju kosan. Kenapa gue sendirian. Karena gue cuek dan simpel. Bohong. Karena kosan gue mau dikunci. Karena gue sok berani jalan sendirian.
Saat jalan sendiri gue jadi pengen ngulang waktu. Pengen ngulang setahun lalu harusnya gue ga usah iseng googling cerita-cerita hantu di UI. Hasilnya sekarang gue jalan kayak ga sendirian. Ditemani hantu-hantu. Hantu-hantu yang berkeliaran di kepala gue sendiri. Untung gue cuek. Jadi gue terus jalan. Daripada ga sampe-sampe kosan.
Bukan, gue bukan mau ngepost cerita hantu atau pengalaman mistis. Gue ga demen yang begituan. Karena gue penakut. Sama seperti gue takut ikan. Sama seperti gue takut Tuhan. Beda sih. Tapi sama-sama takut.
Yang mau gue certain adalah berhari-hari setelahnya, dari hasil observasi amatiran gue, gue nemuin sesuatu. Berhari-hari setelahnya adalah hari ini. Info bahwa hand and nail lotion gue abis adalah cuma sampah. Apalagi info kalau gue gendut tapi ga suka makan. Tapi gue cuek. Kalo jengah baca ini, gausah diterusin. Simpel.
Apa coba yang ajaib nan aneh akibat kesukaan gue mengobservasi sekeliling? Mata gue entah kenapa terlatih liat mana orang yang pacar-able dan un-pacar-able. Hahaha apaantuh.
Mata gue bahkan udah terlatih liat mana orang yang sedang hangat mana yang sedang dingin mana yang bener ga peduli akan aspek percintaan di hidupnya. Hahah.
Mulai absurd. Tapi ya emang begitu kenyataannya, gue gaktahan memendam ini semua sendirian.
Ini observasi yang bebas nilai. Gue ga punya kepentingan apapun dalam menjewantahkan semua pikiran kedalam bentuk tulisan ini. Bahkan dari cara ketawa orang aja gue udah bisa tau orang ini masuk kategori pacar-able atau un-pacar-able. Maksud pacar-able adalah orang ini tinggal nunggu waktu aja, pasti ada yang nyangkut. Sedangkan un-pacar-able adalah orang yang mesti agak ngerubah dulu sedikit sikapnya kalau emang mau punya pacar. Bukaan, bukan berarti yang ketawa ngakak adalah un-pacar-able dan yang ketawa dengan tersipu malu-malu adalah pacar-able. Buka kayak gitu, tapi dari guratan-guratan wajahnya, dari auranya, dari keseluruhan unit ketawanya. Haha mampus deh gue juga bingung cara nyampeinnya.
Dari hubungannya dia sama temen-temennya, entah kenapa orang-orang yang pacar-able seringnya ngeluarin aura yang mandiri duluan dibanding orang-orang yang gue judge sebagai un-pacar-able. Kalo gue pikir-pikir lagi, iya juga sih, siapa yang ga setuju kalau pacaran itu jatohnya lebih susah daripada jadi single? Logikanya gini deh, saat lu single lu gak perlu mengakomodir keinginan dua kepala yang ga mungkin selalu sama dalam segala hal. Saat lu pacaran, lu perlu ngejaga hal itu supaya pacarannya tetep jalan. Se childish apapun orang, tetep aja gue bisa liat kalo emang orang itu pacar-able dan berlaku sama juga, se dewasa apapun orang, tetep aja ada juga yang un-pacar-able. Karena unsur-unsur childish dan mature nya buat nentuin orang itu pacar-able atau un-pacar-able itu beda sama unsur-unsur yang biasa orang liat. Gimana ya jelasinnya, susah.
Juga dari mukanya. Bukaaan, bukan berarti yang ganteng dan cantik pasti pacar-able dan yang standar itu un-pacar-able. Dari mukanya gue tau apakah orang ini siap dimasuki seseorang lagi dalam hidupnya atau tidak. Wets agak berat. Iya jadi bukan masalah cantik gantengnya, tapi lagi-lagi masalah analisis diotak gue mengenai unit keseluruhan wajahnya. Dari gerak-geriknya, dari cara dia menghadapi orang lain. Gue kadang suka senyum karena ngeliat fenomena ini sendirian, karena ngeliat betapa besarnya anugerah yang Tuhan kasih tentang hal ini. Karena ga semua orang bisa liat kan?
Kadang orang sukanya cuma ngeluh-ngeluh pengen punya pacar. Tanpa tau kalo punya pacar pun gaakan mengubah apa-apa dihidupnya. Kejam ya gue? Iya. Kalo emang pada dasarnya lu memandang dunia dengan suram. Ya kalau pun punya pacar nantinya lu bakal jadi si pemandang suram dunia yang punya pacar. Kalo emang pada dasarnya lu bawaannya murung. Kalo punya pacar nantinya lu hanya bakal jadi si pemurung yang punya pacar. Gitu juga kalo seandainya pada dasarnya lu orang yang pesimis atau apapun yang punya konotasi negatif.
Karena pemecahan masalahnya bukan terletak di lu punya pacar atau ngga. Karena pacaran bukan sulap. Kecuali pacar lu memang sangat ajaip sakti mandraguna sampe bisa ngubah lu jadi pribadi yang lu pengen.
Tapi hari gini cari dimana pacar sakti? Semakin absurd.
Intinya gue suka banget ngeliat apa yang oranglain ga liat. Gue suka momen diam. Gue suka berpikir. Gue suka nulis yang tinggal di ketik-ketik. Gue suka nyanyi. Gue suka observasi. Gue gendut.
Udah ah sekian dulu masbro. Ngantuk.
ditulis beberapa hari yang lalu, di dini hari di kamar yang, panas.
Bukan gue ga mampu beli tapi sebenernya emang ga mampu. Dengan harga yang sama bisa buat makan tiga hari. Jadi mendingan gue makan tiga hari. Binder gue jadi kosong. Karena gue lebih pilih makan. Tiga hari.
Padahal gue juga bukan orang yang suka makan. Tapi gue gendut. Gue gendut padahal ga suka makan. Ga suka makan padahal gue suka nulis. Tapi nulis yang tinggal diketik-ketik. Jadi ga perlu hand and nail lotion. Sama seperti gue suka nyanyi.
Sama seperti gue suka observasi.
Gue terkenal cuek. Ga. Gue ga terkenal. Tapi cueknya terkenal. Siapa yang gatau cuek. Siapa yang gatau cuek bebek. Siapa yang gatau donal bebek.
Gue cuek dan simpel. Kata siapa. Kata orang yang mengenal dengan baik esensi kata cuek dan simpel. Kata orang yang mengenal dengan baik esensi diri gue, gue ga cuek ga simpel. Tapi gaada orang yang mengenal dengan baik esensi diri gue. Karena gue ga terkenal.
Jadi ceritanya gue lagi jalan kaki sendirian jam setengah dua belas malam dari kampus menuju kosan. Kenapa gue sendirian. Karena gue cuek dan simpel. Bohong. Karena kosan gue mau dikunci. Karena gue sok berani jalan sendirian.
Saat jalan sendiri gue jadi pengen ngulang waktu. Pengen ngulang setahun lalu harusnya gue ga usah iseng googling cerita-cerita hantu di UI. Hasilnya sekarang gue jalan kayak ga sendirian. Ditemani hantu-hantu. Hantu-hantu yang berkeliaran di kepala gue sendiri. Untung gue cuek. Jadi gue terus jalan. Daripada ga sampe-sampe kosan.
Bukan, gue bukan mau ngepost cerita hantu atau pengalaman mistis. Gue ga demen yang begituan. Karena gue penakut. Sama seperti gue takut ikan. Sama seperti gue takut Tuhan. Beda sih. Tapi sama-sama takut.
Yang mau gue certain adalah berhari-hari setelahnya, dari hasil observasi amatiran gue, gue nemuin sesuatu. Berhari-hari setelahnya adalah hari ini. Info bahwa hand and nail lotion gue abis adalah cuma sampah. Apalagi info kalau gue gendut tapi ga suka makan. Tapi gue cuek. Kalo jengah baca ini, gausah diterusin. Simpel.
Apa coba yang ajaib nan aneh akibat kesukaan gue mengobservasi sekeliling? Mata gue entah kenapa terlatih liat mana orang yang pacar-able dan un-pacar-able. Hahaha apaantuh.
Mata gue bahkan udah terlatih liat mana orang yang sedang hangat mana yang sedang dingin mana yang bener ga peduli akan aspek percintaan di hidupnya. Hahah.
Mulai absurd. Tapi ya emang begitu kenyataannya, gue gaktahan memendam ini semua sendirian.
Ini observasi yang bebas nilai. Gue ga punya kepentingan apapun dalam menjewantahkan semua pikiran kedalam bentuk tulisan ini. Bahkan dari cara ketawa orang aja gue udah bisa tau orang ini masuk kategori pacar-able atau un-pacar-able. Maksud pacar-able adalah orang ini tinggal nunggu waktu aja, pasti ada yang nyangkut. Sedangkan un-pacar-able adalah orang yang mesti agak ngerubah dulu sedikit sikapnya kalau emang mau punya pacar. Bukaan, bukan berarti yang ketawa ngakak adalah un-pacar-able dan yang ketawa dengan tersipu malu-malu adalah pacar-able. Buka kayak gitu, tapi dari guratan-guratan wajahnya, dari auranya, dari keseluruhan unit ketawanya. Haha mampus deh gue juga bingung cara nyampeinnya.
Dari hubungannya dia sama temen-temennya, entah kenapa orang-orang yang pacar-able seringnya ngeluarin aura yang mandiri duluan dibanding orang-orang yang gue judge sebagai un-pacar-able. Kalo gue pikir-pikir lagi, iya juga sih, siapa yang ga setuju kalau pacaran itu jatohnya lebih susah daripada jadi single? Logikanya gini deh, saat lu single lu gak perlu mengakomodir keinginan dua kepala yang ga mungkin selalu sama dalam segala hal. Saat lu pacaran, lu perlu ngejaga hal itu supaya pacarannya tetep jalan. Se childish apapun orang, tetep aja gue bisa liat kalo emang orang itu pacar-able dan berlaku sama juga, se dewasa apapun orang, tetep aja ada juga yang un-pacar-able. Karena unsur-unsur childish dan mature nya buat nentuin orang itu pacar-able atau un-pacar-able itu beda sama unsur-unsur yang biasa orang liat. Gimana ya jelasinnya, susah.
Juga dari mukanya. Bukaaan, bukan berarti yang ganteng dan cantik pasti pacar-able dan yang standar itu un-pacar-able. Dari mukanya gue tau apakah orang ini siap dimasuki seseorang lagi dalam hidupnya atau tidak. Wets agak berat. Iya jadi bukan masalah cantik gantengnya, tapi lagi-lagi masalah analisis diotak gue mengenai unit keseluruhan wajahnya. Dari gerak-geriknya, dari cara dia menghadapi orang lain. Gue kadang suka senyum karena ngeliat fenomena ini sendirian, karena ngeliat betapa besarnya anugerah yang Tuhan kasih tentang hal ini. Karena ga semua orang bisa liat kan?
Kadang orang sukanya cuma ngeluh-ngeluh pengen punya pacar. Tanpa tau kalo punya pacar pun gaakan mengubah apa-apa dihidupnya. Kejam ya gue? Iya. Kalo emang pada dasarnya lu memandang dunia dengan suram. Ya kalau pun punya pacar nantinya lu bakal jadi si pemandang suram dunia yang punya pacar. Kalo emang pada dasarnya lu bawaannya murung. Kalo punya pacar nantinya lu hanya bakal jadi si pemurung yang punya pacar. Gitu juga kalo seandainya pada dasarnya lu orang yang pesimis atau apapun yang punya konotasi negatif.
Karena pemecahan masalahnya bukan terletak di lu punya pacar atau ngga. Karena pacaran bukan sulap. Kecuali pacar lu memang sangat ajaip sakti mandraguna sampe bisa ngubah lu jadi pribadi yang lu pengen.
Tapi hari gini cari dimana pacar sakti? Semakin absurd.
Intinya gue suka banget ngeliat apa yang oranglain ga liat. Gue suka momen diam. Gue suka berpikir. Gue suka nulis yang tinggal di ketik-ketik. Gue suka nyanyi. Gue suka observasi. Gue gendut.
Udah ah sekian dulu masbro. Ngantuk.
ditulis beberapa hari yang lalu, di dini hari di kamar yang, panas.
Subscribe to:
Posts (Atom)