20120716

Kaum-kaum

Isi bumi terdiri dari berbagai kaum-kaum yang senang mengidentifikasi dirinya sendiri. Identifikasi perbedaan persamaan bukankah memang telah diajarkan sejak kecil, siapa yang tidak pernah disuruh menemukan perbedaan dari kedua buah gambar yang identik pada waktu kecil sebagai sebuah permainan. Seiring dengan pertumbuhan umur perbedaan-perbedaan tersebut disisipi oleh nilai-nilai. Yang mana yang lebih baik,  yang mana yang tidak lebih baik.

Saya pernah ingin mencoba menelanjangi diri dengan melepas semua atribut identifikasi diri bersama seluruh nilai-nilainya. Dan hasilnya nihil. Dengan adanya percobaan tersebut saja menunjukan bahwa saya menganggap diri yang telanjang adalah lebih baik daripada yang memakai atribut identifikasi dan nilai. Bukankah itu juga termasuk dalam sebuah nilai. Apalagi ini bukan bentuknya bukan baju, melainkan kulit. yang ketika harus dilepas berarti saya melukai diri saya sendiri. Maka saya menghangatkan diri lagi saja, untuk apa melakukan hal yang tidak menyenangkan (sudah terlalu banyak ketidakmenyenang-an yang terjadi pada level realitas bukan).

Tanpa menelanjangi diri saya coba tempatkan saja diri pada posisi yang waras. Tadinya jari saya gatal untuk mengganti waras dengan kata benar. Tetapi lagi-lagi pada relativitas saya tunduk. Siapa yang bertanggungjawab atas nilai benar dan salah, apalagi untuk urusan yang berada dalam ranah ide. Kian kesini saya menjadi kurang berminat pada hal-hal yang berbau penyudutan. Yang menghakimi kebenaran. Yang mengucilkan segala kemungkinan diluar keyakinan.

Sebagian kaum disana bilang bahwa tidak ada itu namanya Tuhan. Saya sendiri tidak setuju sekaligus setuju. Pemandangan indah adalah mitos bagi mereka yang buta, atau menutup mata. Musikalisasi puisi hanya menjadi sebuah dongeng bagi mereka yang tuli, atau menutup telinga. Bukan, saya tidak hendak mengatakan kaum-kaum tersebut sebagai orang yang buta dan tuli. Bisa saja saya yang buta dan tuli, hanya menjalankan apa yang saya yakini walaupun telah melihat dan mendengar ini itu. Ketidaksetuju-an muncul dari saya sendiri sebagai seorang yang berkeyakinan. Setuju muncul dari pemikiran bahwa Tuhan memang berada dalam pikiran, jika sebuah kaum bilang tidak ada, maka akan seperti tidak ada saja bagi kaum tersebut. Maka kemudian benar saja tidak ada. Tok. Toh, yang berkeyakinan ada pun belum bisa membuktikannya dengan cara yang diinginkan sebuah ilmu pengetahuan, kan?

Kemudian berlanjut pada apa yang dinamakan Agama. Sebagian kaum disana menihilkannya dan menaruh kitabnya pada rak buku dongeng bersamaan dengan cerita Rumplestiltskin atau legenda Sangkuriang. Sebagian kaum lagi menjadikan ini sebagai tujuan kehidupan, bahwa apa-apa yang dilakukannya berasal dari sini, yang boleh dan tidak boleh, hingga membenarkan apapun yang dilakukan dengan alasan mengikuti perintah dari sini. Seperti sebuah ideologi yang berada dalam spektrum paling kanan ataupun paling kiri, bukankah semua orang seharusnya bebas berada dimana sesuai dengan apa yang diyakininyaBenturan mungkin terjadi ketika kaum yang berkeyakinan merasa lebih baik dan benar dibanding yang tidak. Atau sebaliknya. Pada intinya pada saat mengaku bahwa A lebih baik daripada B, terlebih lagi dengan begitu maka B harus diberantas. Atau bahwa B lebih baik dari A, maka A harus hidup dengan cara yang dilakukan B. 

Saya menemukan suatu kebingungan yang mendasar. Sebuah paradoks yang menghantui sejak saya mulai mencoba mengerti. Jika memang A yang lebih baik, mengapa A tidak cukup rendah hati untuk membiarkan B berada pada keyakinannya? Juga sebaliknya. Saya tidak peduli apakah surga atau neraka itu nantinya benar ada atau tidak. Selama saya bisa merasa lega menjalani apa yang saya yakini dan saya tidak merugikan isi bumi akan apa yang saya perbuat selama hidup. 

Jika suatu kaum banyak menyakiti-entah itu pada alam atau manusia-dengan alasan menjalankan apa yang ia yakini, bukankah egois sekali jika padanannya adalah surga yang nantinya hanya akan dinikmati oleh dia sendiri?

Wallahu a'lam bish-shawabi.

20120715

In goodbye

Where are the plans we made for two?

Jangan, jangan bilang tentang galau. Saya menyayangkan kata galau begitu jadi populer untuk digunakan. Populer sampai pada saatnya diasosiasikan dengan nilai negatif. Galau itu artinya apa? Jika diekspresikan dengan benar, semestinya galau diapresiasi dengan baik. Seorang yang galau dapat menghasilkan karya yang monumental. Saya pikir yang menciptakan lagu-lagu yang familiar kita dengar, musisi tersebut pada awalnya sesederhana sedang galau. Juga prosa-prosa yang kita baca, saya yakin banyak yang muncul berawal dari kegalauan. Seperti maroon 5, menciptakan lagu diatas yang saya kutip sedikit kalimatnya dipaling atas (dan juga dibawah ini).

Still stuck in the time when we called it love.


Selama ini selalu ada proses satu dan dua yang diyakini keduanya ada atau tidak ada samasekali, siang-malam, before-after, timbul-tenggelam. Pertemuan-perpisahan. Yang terakhir ini tampaknya bisa menjadi fenomena yang pelik sekaligus sederhana yang melanda semua umat yang mengaku manusia.
Saya sendiri, menulis tulisan ini dengan persepsi bahwa saya termasuk golongan yang sederhana dalam menghadapi proses satu-dua terakhir diatas. Pertemuan-perpisahan. Namun tepat pada saat saya menulis kalimat yang ini, saya sendiri menyadari bahwa bukan, saya malah bukan golongan yang sederhana. Tulisan ini merupakan konfesi alam bahwa sadar bahwa saya sendiri menjadikan pertemuan-perpisahan sebagai sesuatu yang.. Pelik.
Baru kemarin malam saya mengobrol ringan dengan salah satu teman (baru) mengenai pertemuan-perpisahan. Bahwa dirinya malas untuk memiliki hubungan yang terlalu-dalam lagi dengan seorang lawan jenis. Malas, adalah kata yang tepat menurut saya. Sama seperti kita malas mandi pada hari yang dingin, malas makan karena harus membelinya diluar, malas mengerjakan tugas. Malas, sesuatu yang tidak dilakukan hanya karena.. Tidak ingin? Padahal ketidak-inginan itu mungkin sebenarnya tidak sepadan dengan hasil yang didapat ketika sesuatu tersebut dilakukan (berlaku bagi kaum yang berpikir, dimana terkadang otak saya sendiri seringkali terlalu malu untuk menunjukan kebolehannya). Kemalasan tentang pertemuan-perpisahan ini timbul karena pada akhirnya selalu ada yang harus tersakiti-menyakiti. Entah itu karena ego semata, karena orang lain, karena apapun, tersakiti-menyakiti sepertinya merupakan hukum yang mutlak bagi sebuah pertemuan-perpisahan.

Deg.


Kemudian saya teringat pada kejadian personal tentang pertemuan-perpisahan. Ada sebagian orang yang tidak ingin memulai hubungan yang dalam dengan lawan jenis sebelum adanya pernikahan. Bagi saya mereka ini cukuplah cerdas, pernikahan membuat kesempatan untuk ditinggalkan-meninggalkan menjadi lebih sempit daripada sekedar hubungan yang dijalani dengan saling percaya tanpa ikatan apapun, kan. Meskipun ada juga yang semudah itu ditinggalkan-meninggalkan walaupun telah dalam ikatan pernikahan, itu hal yang lain. Prinsip ini juga muncul bersama ajaran agama. Menghindari sesuatu yang tidak halal, katanya. Ya, agama memang sifatnya mengamankan.
Namun deg yang muncul adalah karena selama ini saya hanya secara samar menyadari bahwa ada saatnya nanti saya yang menjadi (entah) pihak tersakiti atau menyakiti. Terlalu terbuai dengan kecocokan-kecocokan yang ada, dengan pertengkaran-pertengkaran kecil yang selalu berhasil dilewati, dengan senyuman-senyuman yang muncul sehabis kekesalan, saya-ternyata-terlalu naif dalam memandang bahwa apa yang saya jalani kini adalah berbeda dengan yang lain. Bukankah semua yang berpisah juga pada awalnya merasa bahwa mereka telah menemukan yang terbaik? Dapat dikatakan, jawabannya iya. Pemikiran yang muncul dalam waktu sepersekian detik ini kemudian bertahan berhari-hari sampai pada saat ini, sekitar tiga hari dari obrolan kemarin malam.

Saya tidak hendak membahas lebih lanjut mengenai kemalasan seorang teman saya dalam memulai hubungan yang dalam dengan lawan jenis, mungkin saya akan menulisnya di kesempatan lain, atau mungkin tidak samasekali. Yang mengusik pikiran saya ialah saya sedang tidak diposisi dia yang sedang menghindar dari kata tersakiti-menyakiti. Saya termasuk dalam golongan yang telah terjebak di dalamnya. Yang mana yang lebih berbahaya? Saya tidak tahu. 
Dengan memikirkan bagaimana rasanya ketika hubungan yang kini dijalankan tiba dalam berkesudahan, cukup membuat saya tarik nafas dalam. Memvisualisasikan lagu-lagu yang sedang sering diputar di radio, lagu yang saya kutip diatas, atau lagu-lagu lain yang menyiratkan keadaan pasca perpisahan, dapat membuat saya cukup berpikir. Untungnya berpikir kearah yang lebih memberi banyak kegunaan.
Terlanjur, saya terlanjur terjebak dalam pertemuan maka baiknya saya pergunakan kesempatan ini dengan maksimal sebelum tiba saatnya perpisahan. Bahwa nanti pun ketika pasca berkesudahan, saya akan bangga bahwa saya pernah mengenal seorang manusia sedalam ini, bukankah hal tersebut perlu diapresiasi? Termasuk prestasi, tidak semua orang bersedia memahami dan dipahami, kan. Bahwa nanti pun ketika segalanya tidak berjalan seperti yang diinginkan, saya pernah menjadi manusia yang dijanjikan yang baik-baik tentang masa depan. Sebagian orang disana bahkan sulit untuk memulai, maka tahap dijanjikan ini semestinya menjadi yang perlu diingat dengan senyum, kan. Bahwa yang namanya hidup adalah tentang berjalan ke depan.

Nah, maka benarlah yang saya bilang bahwa tulisan ini sebenar-benarnya adalah wujud ketakutan, atau tiket bagi saya untuk masuk dalam kaum yang pelik dalam menghadapi pertemuan-perpisahan.

But even the sun sets in paradise.

Selamat malam.