20091129

hari ini hari belajar sedunia

hari ini hari belajar sedunia. hari-hari sebelumnya juga belajar. tapi hari ini spesial.
aku
belajar dari anak tengah. yang tidak jarang dipaksa memendam. ingin bermanja-manja, tapi seorang kakak juga.
belajar dari anak bungsu. yang tidak jarang dipaksa memendam. yang keinginan mengontrolnya dimatikan sejak bayi, karena yang besar yang lebih benar.
belajar dari anak sulung. yang tidak jarang dipaksa memendam. beban orangtua terjun bebas pada mereka tanpa perantara. harus merahasiakan sesuatu dari adik-adiknya walaupun tak tahan juga.
belajar dari anak tunggal. bertahan dalam kesepian.

lalu pada embun pagi ini pun aku belajar. apalagi pada dingin dini hari.
kemarin aku punya moka float dan bolu blueberry yang manis. dimakan dan diminum bersama keluarga yang dari jauh jauh. berbasa-basi dengan tulus, terasa sekali kebutuhan akan kehangatan ini segera terpenuhi.
tapi hari ini yang kupunya hanya sebatang paria yang belum dimasak. dimakan bersama teman yang tidak pernah dan tidak akan kukenal. bersama orang lain. asing. sama saja dengan sendiri.
tapi karena hari ini adalah hari belajar sedunia. aku baik saja.
belajar dari anak tunggal yang bertahan dalam kesepian toh?
iya.
katanya aku belajar dari anak-anak itu. maka anomali lah kalau tidak baik saja.
lalu aku apa? apa aku anak bungsu?
bukan. aku bukan keempat-empatnya. mana bisa aku belajar kalau begitu.
lalu aku apa? aku bukan keempat-empatnya. bukan pula embun pagi atau dingin dini hari.
aku adalah semesta. aku hanyalah semesta.

hari ini hari belajar sedunia.

poli

dirimu seperti pasar monopolistik. senyummu mahal. maafmu mahal.
kadang kulihat dirimu itu hanya tak sadar diri saja. bukannya memang berharga atau bagaimana.
kau anggap dirimu itu sang juara. iya memang. dalam lomba meretas waktu dan batas.
aku berani taruhan. tak ada yang tak suka kamu.
tapi tak ada juga yang suka. aku saja tidak. senyummu mahal begitu.
ketika aku dan dirimu bersama, dianggapnya aku seperti pembeli marjinal. dan kau penjual supermarjinal. cih, enak saja.
tapi kubilang aku berani taruhan. tak ada yang tak suka kamu.
apa ya satu kata yang melambangkan?
istimewa. ya kamu istimewa. meski kamu tidak berhaga atau bagaimana. kamu istimewa.

ya aku ingat saat aku bertanya satu pertanyaan padamu, poli. aku panggil kamu poli. daripada sebutan si monopolistik. enak saja aku yang repot, terlalu panjang.
aku tanya padamu seandainya satu hari kamu bisa berubah untuk menjadi siapa saja, kamu ingin menjadi siapa. aku kira kamu akan menjawab sosok-sosok idealmu yang kamu sering katakan padaku tanpa senyum itu. atau kukira kamu akan menjawab menjadi kamu, karena kamu ya begitu itu. kerap tak sadar diri.
tapi tanpa pikir panjang kau jawab ingin menjadi aku. kenapa, poli?
aku senang karena kamu tak pernah bercanda. saat pembagian selera humor dulu mungkin kamu tak datang. terlalu sibuk ikut lomba meretas waktu dan batas itu.
kenapa menjadi aku, poli?

karena kamu ingin sesekali menjadi pecundang.
itu alasanmu.

cih, kamu tak pernah berubah, poli.
jujur aku sakit hati. itu tadi tajam. tapi kan maafmu mahal. ya, pemaafanku murah sekali. obral. gratis. kalau tidak sejak kapan kita sudah tak lagi berhubungan. atau tak pernah bahkan.
kamu poli, sialan. kamu istimewa. kau buat isi dirimu menjadi mahal. kau buat segalanya tak terjangkau. padahal kamu tak berharga. kamu bukan siapa-siapa. kamu sialan.
jadi arti kosakata pecundang mu itu adalah aku?
baik. inilah makna kosakata istimewa ku. kamu. kamu yang sialan. kamu si monopolistik.
suatu saat kamu akan menjadi oligopoli ditanganku. aku bisa tetap memanggilmu poli.
tunggu aku. tunggu aku yang bukan lagi pembeli marjinal.

aku (begitu) berbeda

kurasa kita berbeda itu nyata.
bukan kita, aku berbeda. tidak begitu dengan kau dan dia.
lihatlah bulan ulangtahun kalian sama, tanggalnya pun berdampingan. aku jauh dan tak ada hubungannya angka tanggalku dengan bahkan salah satu pun dari kalian.
baik, itu bukan hal yang penting. tapi jenis kelamin kita juga beda, aku maksudnya. hari tertentu aku harus duduk di pinggir kolam renang ketika kalian berciprak air. bahkan nanti aku harus menyobek pantatku beberapa kali ketika kalian sunat hanya sekali. baik, bayi tidak keluar dari pantat. tapi kalian tahu maksudku.
sekolah pun aku harus memakai bahan yang tak ada tengahnya, disebut rok katanya. sehingga ketika kalian memanjat pagar atau pohon dengan riang, aku harus menanggung malu karena celana dalamku bisa kelihatan. curang sekali kenapa manusia berjenis kelamin seperti kalian tidak usah memakai bawahan yang celana dalamnya bisa kelihatan.
sekarang kalian boleh main sampai malam. tapi aku selalu dianggap tidak pantas pulang malam. perempuan katanya.
kalian bisa bermain bola, teman-teman kalian asyik sekali. teman-temanku hanya bergumul pada perasaan, kadang bermusuhan, kadang iri, kadang ingin sesuatu secara berlebihan. aku tak menikmati. aku tak mengerti.
sehabis makan juga kalian tidak haram untuk langsung menonton tv lagi. tapi aku harus mencuci piring. bukan, aku bukan pembantu, kita sejajar. apalagi soal kamar. tak jarang aku disuruh merapikan yang punya kalian. aku perempuan katanya.
terlalu banyak hal jika disebutkan tentang perbedaan yang satu itu. tidak, aku tidak merasa spesial. perbandingan jenis kelaminku toh lebih banyak dari kalian. tapi katanya enak jadi perempuan bisa menangis kapan saja. tidak kok, tidak kapan saja, mau coba? lagipula aku tidak ingin menangis. kecuali kemarin saat jatuh dari motor sakit sekali kakiku.
kurasa aku begitu berbeda, kau pintar dia berbakat, aku tak bisa apa-apa. kalian memotivasi. aku cuma bisa dimotivasi.
begitu juga soal memuji. kalian bisa dipuji. aku hanya bisa memuji.
saat aku ingin memakai warna biru dongker juga aku selalu disarankan untuk memilih yang lebih perempuan. terpaksa aku memakai itu merah muda. katanya aku cantik. tapi aku tak peduli. aku hanya ingin sama dengan kalian.

kurasa aku begitu berbeda. kuharap kita ini memang saudara.

kemarin dia bilang apa yang kau bilang. aku tidak bisa begini terus. lalu kau menerangkan apa yang dia terangkan, tentang takdir, tentang tangan Tuhan, segala macam tentang kelapangan, kebijaksanaan.
kurasa aku tak peduli. aku hanya ingin sama dengan kalian.

kurasa aku begitu berbeda.

bocah sekolah

ini bukan kali pertama ku duduki bangku kayu ini. sudah 7 jam kiranya aku disini. nanti malam 7 jamku bisa hasil berapa banyak tulisan dan suara nyanyian. 7 jam disini aku beku. 7 jam disini hanya ada satu rasa dari sekian rasa yang ada. aku bosan. luarbiasa bosan.
mahkluk yang berbelas-belas tahun lebih tua dariku itu berdiri di depan sejak tadi. ia terus berbicara. ia tak pernah mendengarkanku. ia tak terima ide-ide mudaku. aku khawatir dia sebenarnya tidak pintar. itu terasa. amat terasa. kupikir berani-beraninya dia terus berbicara seperti itu. kertasku telah habis dengan coretan-coretan. otakku mati beku.
aku merasa amat merugi. untuk duduk ditempatku ini orangtuaku menghabiskan berapa liter keringat berapa jumlah uang. tidak sedikit. tempatku itu ruang kotak yang mejanya banyak. kursinya banyak. ada gambar presiden. ada gambar wakil presiden. ada garudanya.
helaan nafasku mungkin sanggup menyedot seluruh isi kota. sudah ku bilang aku bosan. luarbiasa bosan.
badanku pergal-pegal. harus terus duduk disini. rebahan sedikit dikiranya melawan.
bukan cuma badanku. batinku juga pegal-pegal. aku tak habis pikir kenapa aku harus bisa integral. sedang tanganku lebih luwes melukis. kenapa temanku harus bisa fisika. sudah dia tak minat dia tak bisa pula. katanya padaku dia sebenarnya ingin jadi wartawan.
semuanya dibuat seragam semuanya dibuat kabur. ini baju yang kupakai warnanya putih. bawahannya abu. mereka menamai ini seragam. benar saja. dari ujung rambut hingga ujung kaki kita ini sama. lucu sekali kalau disejajarkan. sama. sama-sama bosan. sama-sama pegal-pegal. katanya supaya tidak ada kesenjangan. goblok. nyatanya dengan memakai seragam ini kesenjangan di negeri tidak lantas musnah toh. orang kaya yang kaya sekali masih banyak begitu pula yang miskin. jadi kenapa sejak kecil hingga remaja harus disama-samai. mau membiasakan diri dengan homogenitas ceritanya. jelas-jelas negeri ini heterogen.
tapi katanya aku harus bersyukur. banyak yang tidak bisa menikmati bangku sekolah.
tapi haruskah aku ikut membohongi batinku. haruskan aku mematikan otakku.
kalau memang harus, baiklah. demi bapak dan ibu yang berharap banyak. aku akan mengkeraskan hatiku supaya pantatku tetap dikursi. supaya mulutku tetap bungkam tak cari masalah. aku adalah bocah sekolah.

ingin bernyanyi

penat karena jauh dari tuhan ini tidak ada obatnya. ya mendekatlah. tapi bukan sesederhana proses makanan menjadi feces.
lalu bagaimana?
kadang menulis bisa. bisa mengurai penat. sedikit.
lalu apa?
menghela nafas lebih praktis. bisa mengurai penat lebih banyak pula.
tapi penat yang diurai itu bukan berubah menjadi lega. hanya diletakkan pada tempat yang seharusnya saja. penat satu di kotak hati sebelah kanan loker pertama. penat dua di hati agak kanan loker kedua. tak ada dua penat dalam satu loker. hasilnya? kepenatan itu semakin jelas. tidak buruk. kadang butuh juga yang seperti itu. tapi tidak baik juga, tidak membuat merasa lebih baik.
kemarin malam hujan besar. sorenya juga. memang lagi musim hujan. batinku sedang kering, adanya hujan bikin ia sedikit basah. bukan karena sekedar air-air turun dari langit. karena bunyi dan baunya, karena melankoli yang terpercik dari dinginnya. tak sengaja gumamku mengeluarkan nada.

loker pertama sampai kesekianku tiba-tiba kehilangan isinya.
aku mulai bergumam lagi dengan nada yang lebih indah. hingga memejamkan mata saking terasa.
lokerku kosong semua.

aku bernyanyi dengan tulus penatku hilang semua.
tiba-tiba aku merasa mengerti nabi. inilah rasanya diberikan mukjizat oleh yang kuasa.

adik kecil

adik kecil jangan menangis dulu! aku belum sampai ke rumahmu.
tahan lagi sebentar saja itu bulir yang bakal mengalir. tanganku belum sampai untuk memelukmu.
dik! ini pundakku masih kosong. maka jangan dulu menangis, aku bilang aku sebentar lagi sampai.

adik kecilku,
sebenarnya aku tak tahu dimana rumahmu.
jangan marah! aku bilang aku sebentar lagi sampai. sejak kapan aku pernah mengkhianatimu.
sebentar. aku haus. sebentar saja.
adik kecil tunggu aku dulu, jangan dulu menangis.

aku bilang aku sebentar lagi sampai.
lihat ini aku adik, lihat dik. tak ingin adik memelukku erat? atau sekedar jabat tangan?
aku telah sampai pada alamatmu. tak kutanya tukang ojeg tak kutanya supir angkot. mereka semua tak bakal tahu rumahmu. lariku yang mengantarku kesini. sudah bilang tadi aku sempat haus?

oh adik sedang tak ingin berhangat-hangat, tak apa.
sedang apa ini adik kecilku? kok kamarmu berantakan seperti habis kedatangan tamu undangan?
adik tersenyum. ah adik ini memang selalu begitu, kadang aku bingung loh dik.
kalau begitu, ayo mulai cerita. aku sudah siap-siap pakai kuping yang lebar. ini lihat.

oh adik ingin sedikit santai, oke mari bercerita sambil berbaring. adik tahu saja ini kaki sedikit pegal.
ayo, ayo mulai aku sudah tak sabar.

dik?

rupanya adik terlalu lelah, hari ini apa saja kegiatanmu dik?
ah adik tak menjawab tapi aku tahu jawabannya banyak. adik nakal.
malam ini dingin loh dik katanya. dan adik kecilku tidur hanya pakai piyama tipis saja? tidak akan kubiarkan, sini kuselimuti.
iya aku datang terlalu larut dik, maaf. sekarang tidur saja dulu yang nyenyak, aku menginap disini boleh?

cepat sekali adik berganti alam ke alam mimpi, haha aku senang. damai jiwamu dik berarti. kusimpulkan jawabannya boleh saja ya? selamat malam, aku juga mau tidur.
esok pagi kita berbagi.

adiik bangun, sudah pagi loh ini. jangan ketinggalan sama burung-burung itu diluar. mereka terbang, mereka bahagia. ayo dik!
matamu jernih dik, andai saja tak ada kabutnya. seperti awan dik, mendung.

nah, adik kecil sudah tak ingin menangis? ingin bercerita?

benar saja adikku ini bergulir airmatanya. cup cup sini, ada aku dik, sandarkan kepalamu dipundakku.
loh adik lebih ingin lututmu yang jadi sandaran kepalamu? tak apa, sini punggungmu kuusap, kenapa dunia dik?

semakin keras adik menangis.
kenapa aku tak bisa berbuat apa-apa dik? sini, sini peluk aku lagi. tetap hangat, tetap dunia yang jahat.
adik kecil kalau begini adanya berhentilah menangis dulu, aku sudah dirumahmu tapi belum dirumah hatimu. adik bisa lihat aku? adik ini aku berbicara sedari tadi. adik bisa dengar aku? ini tanganku menyentuh kulitmu adik tak bisakah merasa? ini sekarang aku memelukmu tak adakah hangat yang dulu? ini mukamu dikedua tanganku tak adakah senyum yang dulu? ini aku dik apa seperti bukan aku? ini aku dik belumkah adik merasa aman juga? ini aku disisimu tak menjamin dunia akan baik-baik saja tapi bukankah biasanya ada aku lalu adik merasa lebih baik? ini aku dik.

dan adik kecilku beranjak ke kamar mandi. sarapan. bersiap berangkat. aku didiamkan.

adik bercanda?

ini bukan hari minggu

minggu pagi mataku lebam-lebam. bukan habis bertengkar. cuma habis menangis. bukan karena tak ada yang apel. bukan karena hampir mati bosan. karena sebentar lagi senin.
minggu siang aku gemetaran. oh tidak, tidak dingin tidak hujan mendung pun tidak. cuma sedikit ketakutan. besok hari senin.
minggu malam aku mulai demam. kata kakak tidur saja. aku setubuh. benar tidur saja, tidak mau bertemu malamnya senin.
senin pagi aku harus bangun. tidak harus pun aku bangun sendiri. tuhan berkonspirasi dengan senin. pagiku berat seperti senin senin sebelumnya, nafasku harus kuatur dulu sebelum perutku kenyang karena udaranya salah masuk saluran pencernaan, kedipku harus kurapikan daripada mataku tiba-tiba merah karena lupa kapan terakhir kali mengedip. setelah ritual itu berjalan baru aku bisa berdiri dari tempat tidur, kadang ritual diulang dua atau tiga kali karena nafasku tersumbat bulu hidung atau kedipku ternyata terlalu sering. tak lupa telingaku disiapkan untuk mendengar, kalau tidak bunyi air panas yang mendidih itu tak kumatikan apinya sampai rumah habis terbakar.
aku benci senin karena aku benci realitas.
apa tadi aku bilang benci? bukan, aku takut. aku tahu aku pengecut.
akhirnya tiba juga malam. aku tidak ingin cepat pulang. nanti bau seninnya makin terasa.
setelah cukup malam baru aku pulang. tidur. aku tidak ingin terjaga bersama senin.
selasa aku bangun. ototku bilang ini hari selasa, otakku bilang ya sudah relaksasi lah. nafasku teratur dengan sendirinya, kedipku seperti kedip kedip orang normal lainnya. ini adalah hari bahagia. ini adalah bukan hariku lahir bukan hariku membunuhnya. ini adalah hari yang biasa.
rabu kamis jumat adalah hariku menjadi manusia. ini biasa meski terselip dalam benak pertanyaan tentang, inikah bahagia?
diriku tidak bilang ya tidak bilang tidak. ah dia menutup celah buat kecewa.
hari sabtu meski senang jantungku berdetak lebih cepat saat-saat tertentu. saat ingat habis sabtu adalah minggu habis minggu adalah senin.
sabtu malam aku masih tak merasa haram untuk terjaga. meski harus berselang-seling dengan tangis.
mingguku ini seperti minggu minggu sebelumnya. tapi minggu ini hujan dan dingin jadi aku merasa sedikit normal saat gemetaran siang-siang.
helaan nafasku begitu panjang hingga belum juga sempat membuang nafas aku sudah tertidur. begitulah efek pra-senin.
paginya aku bangun tapi merasa agak bukan senin. nafasku biasa.
benar saja kata kakak ini hari minggu. sebegitukah efek senin sampai aku lupa hari? aku tertawa. hari ini hujan lagi.
paginya aku bangun lagi. dan merasa bukan senin lagi. ah kedipku biasa saja. aku lihat kalender di ponsel dan memang ini hari minggu. ya ampun memang kuat sekali itu efek senin. sampai aku dua kali salah! lalu aku tertawa meski menyembul sedikit rasa heran. hari ini terik.

paginya aku masih bangun. firasatku bilang ini bukan senin, lagi.
benar. banyak orang lari pagi dengan santai dan tak tercium sedikit pun bau senin. aku senang tapi aku heran.
kali ini aku hafalkan tanggalan dan bulan serta tahun. besok harus sudah berganti. besok senin, meski.

aku dibangunkan untuk berenang bersama keluarga. senin macam apa ini?
ini bukan senin lagi!
cepat-cepat ambil tanggalan. kemarin tanggal 13 sekarang tanggal 14. benar. tapi harusnya kemarin sabtu sekarang minggu. apa-apaan ini? ah iya mungkin saja memang aku yang salah.

jendela terang, suara tukang roti. hari apa ini?
keponakanku membangunkanku untuk mengajak jalan-jalan. hari apa ini?
sahabatku pagi-pagi menelpon mengajakku keluar makan siang. hari apa ini?
kakak masih tidur semua masih tidur. pagi apa ini?

semua jawabnya minggu.
tidak mungkin!
besok akan kuperingatkan semuanya. kita harus bekerja, kita harus sekolah, kita harus beraktivitas. aku mulai khawatir.
aku bangun. ini minggu lagi. aku beritahu semua keluargaku. mereka tertawa.
aku beritahu teman-temanku. mereka tak kalah tertawa juga.
aku beritahu kakakku. malah ditanya sedang kenapa.
aku beritahu tukang becak. dia tak menggubris.
aku beritahu tukang nasi kuning. dia bilang mau pesan berapa bungkus
aku beritahu alam. mereka selalu diam, tapi yang diam benar-benar. buat apa. lalu aku berteriak-teriak sambil menunjukkan bukti. ibuku bilang apa-apaan.

hidupku sekarang adanya untuk meluruskan. INI BUKAN HARI MINGGU.
sepertinya aku lupa apa kabar efek senin itu

restu

ini malam bukan malam yang biasanya. aku biasa, tapi ibu tak biasa. ia masih terjaga.
akhirnya aku berani bertanya mengapa. sakit juga ini ada tembok tak terlihat yang selalu tegak membatasi aku dan dia.
jawabnya karena dia sedang memikirkan aku.
aku terperangah. apa yang harus dia pikirkan tentang aku? aku tak usahlah dibangunkan atau dibuatkan sarapan nanti pagi. bukannya sudah tidak begitu sejak lama? tak pula aku diingatkan untuk belajar, rasanya malu sama badan, besar. juga tak pula disuruh pulang. aku memang selalu pulang?
cita-citaku.
cita-citaku katanya yang membuat dia kini tak tidur lantas berpikir.
bukannya cukup aku pergi dari peluknya untuk menyambut keinginanku kini. katanya
bukannya cukup aku lelah setiap pulang tanpa tahu berbuat apa aku diluar rumah. katanya
bukannya cukup aku bersama dunia luar di tahun ketiga ini. katanya

oh. itu rupanya
tak ada kata terucap yang ada hanya kegiatan mengingat.
ya. bahkan aku lebih ingat tanggal rapat daripada ulangtahun dirinya.
mulutku lancar berbicara tentang program kerja daripada ketika berhadapan dengan dirinya.

cita-citaku katanya.
takut aku miskin.
takut aku tak terjangkau lagi.
takut aku tak pernah kembali lagi.

masih tak ada kata terucap yang ada hanya kegiatan berpikir.
aku sendiri tak takut.
miskin? apa sekarang kita kaya, ibu.
apa sekarang aku terjangkau? apa aku pernah tidak kembali?

ini anakmu hanya ingin menjadi salahsatu lilin di lorong gelap bangsa, ibu.

lalu kini ibu menatapku. inginnya aku pergi ke kamar lalu pura-pura tidur. aku luarbiasa risih. aku tidak biasa ditatap. aku tidak biasa ditatap ibu.
lalu dia memegang tanganku. keringat dinginku keluar.
tangan ini dulu kecil sekali. kulit ini dulu dimandikan saja tidak bisa, harus pakai minyak kelapa. kulit ini dulu putih. suara ini dulu sering memanggil namanya.
empat kalimat itu menyerang batinku sungguh.
tapi lihat, tangan ini kini memegang sesuatu dengan teguh. sudah berjabat tangan dengan siapa saja aku? kulit ini sering terbakar dan tidak ada yang lecet. suaraku menyuarakan kebaikan?
dia berkata sekaligus bertanya.

aku merasa kecil.
siapa bilang aku tidak pernah rindu bercanda sambil menatap matanya?
siapa bilang aku tidak pernah rindu memeluk sampai tercium bau tubuhnya?
siapa bilang aku tidak ingin bersembunyi dibawah ketiaknya ketika dunia ini terasa sungguh tidak adil?

yang kulakukan hanya satu, menahan.
yang sedang dia lakukan pun satu, bertahan.

aku mohon restumu, ibu.

setelah itu malam menjadi biasa.
aku pasrah pada air mata saat dia sudah tidak terjaga.

efusif

tolong jangan lagi jadi manusia mikrothermal.

kamu tidak tembus dengan performa prima kata-kata, apalagi dengan yang biasa-biasa.
aku ini menunggu natalitasmu kembali. aku ini sedang berusaha memahami prosesmu, aku ini tidak biasa memahami dan kini harus.
untuk apa lagi kalau bukan untuk melihat uratmu yang jadi kendor dan ototmu yang relaksasi. kini tidak begitu. aku khawatir.
aku khawatir yang kutunggu hanyalah kematian pelan-pelan.
jangan kira aku tidak punya urusan. realitas memelukku dan kami saling berpelukkan memang.
tapi apa gunanya realitasku jika duniamu legam begitu.
kamu bilang ini hanya epirogenesa positif. ini absolut negatif!
bukan kamu yang luluh jadi ekspektasiku terlihat berlebihan tapi sebaliknya.
kesedihanmu bahkan lakolit. menyembul di pandangan matamu, makanya coba bercermin bukan berkaca.
tidak, kamu tidak sakit jiwa. dunia ini yang sakit. jangan pernah ragu akan itu.
kerak di dalam itu jangan dijadikan legam juga, ia punya warna sendiri.

kalau mau kembali ke tanah beri tahu aku. aku akan membantu. aku akan berhenti menunggu.

20091120

20091110

oh ini nyata!
butuh sifat melankolis untuk menulis, bagi saya.
dan sekarang saya melankolis-koleris
hahaha mampus deh komputer udah didalem kamar lagi.

20091107

nanny 911

nonton bareng si mamah, wets 'tumben moment' tuh haha
mamah: "alhamdulilaah anak mamah mah ga ada yang kaya gitu waktu kecilnya"
saya: "haha"
mamah: "aduh tapi ada kecuali nya satu"
saya: "apa?"
mamah: "kalo udah menyangkut mandi, uh susaah pisan apalagi kamu"

hihihi itu mah sampe sekarang mah. ;)

orang Tuhan yang bikin

habis sembahyang alam bawah sadarku lah yang berdoa
pertama dia selalu melantunkan doa untuk kedua orangtua. yang selain habis sembahyang, aku tak ingat kalimatnya.
waliwalidaya. eh, aku ingat. setelah beberapa lama mengingat-ingat.
entah karena alam bawah sadarku bilang aku sangat masih bergantung pada mereka jadi doakanlah mereka, atau karena kalimat doanya menarik dan dihafal sejak balita.
kedua aku selalu melantunkan doa keselamatan untuk diri sendiri. alam bawah sadarku bilang, kalau kamu tidak selamat, tentu kamulah yang butuh ditolong. iya benar juga. repot jadinya kalau aku yang butuh ditolong. aku ini kan gengsian. aku geli saat alam bawah sadarku selalu jujur.
ketiga aku selalu melantunkan tentang apa saja yang menjadi kesusahan saat itu. saat kelas dua sd sehabis sembahyang aku selalu berdoa minta sepeda. lalu punyalah aku sepeda. semakin besar aku selalu berdoa tentang segala sesuatu. paling sering tentang diberikan kesabaran. aku tak habis pikir bagaimana kalau Tuhan tidak mengabulkan yang tentang kesabaran itu. waktu kecil kan tantrumku jelek sekali. mengamuk-ngamuk saja sering. nyengir aku sekarang kalau ada saudara atau kerabat yang menyindir tentang itu. dalihku, karena aku terlalu pintar, aku ini kan anak prematur, atau apa sajalah yang mengandung unsur candaan. pernah juga aku berdoa meminta pintar. pintar kok diminta, begitu lama-lama pikirku. lalu aku berhenti berdoa tentang pintar tapi rupanya Tuhan beri juga sarinya sedikit. lalu ada kalanya aku takut. tangan Tuhan terlalu banyak! pikirku. karena Ia tak pernah memberi semuanya secara langsung. Tuhan selalu menyuruh! karena Tuhan tangannya banyak imajiku langsing menyala, dan sosok yang menyeramkan yang jadi outputnya. tapi ayahku bilang tidak boleh membayangkan wujud Tuhan, otak kita ini terlalu kecil untuk itu, biar batinmu yang bicara, otakmu pita suaranya. lalu aku menurut saja dan mulai berdoa lagi pada Tuhan. karena sudah tidak takut lagi malah merasa nyaman. padahal hanya perasaan saja aku ini sedang dekat denganNya atau tidak, kenyataannya aku tidak tahu benar. petang ini aku baru saja sembahyang dan berdoa tentang kesehatan (luar-dalam), ya Tuhan, sakit itu luarbiasa. sakit itu rasa yang paling kukagumi jujur saja. menyenangkan punya zat yang bisa dimintai begitu saja, bisa menjadi tempat mengadu dan menangis sesenggukan tanpa merasa malu. iya aku kan gengsian.
keempat aku selalu menambah embel-embel, pada semua yang Kau berkati juga, Tuhan. jadi aku pikir kalau aku berdoa minta sepeda, orang-orang yang Tuhan berkati juga harus diberikan sepeda. juga tentang kesabaran dan kesehatan itu. aku mau semuanya merasa baik juga. tapi aku tidak pernah berdoa agar semua menjadi gengsian kok tenang saja.
sehabis itu aku selesai dan menghadap kegiatan lain, aku tidak mau berdoa terlalu banyak. jadi omong kosong rasanya. karena aku belum bisa sempurna dalam beribadah. jadi aku hanya meminta yang benar-benar aku butuhkan atau kadang yang benar-benar aku inginkan. meski sebenarnya mungkin aku bisa minta apa saja. karena tuhan itu Maha-Maha, kan.

habis berdoa alam sadarku lah yang ambil alih.
bagus ya hidup ini. jelaslah, orang Tuhan yang bikin.

justru saat itu

ditanganku masih belum buku pelajaran. hanya secarik kertas dan pulpen atau sebuah buku, novel.
diotakku belum nilai-nilai rapot atau passing grade kuliah. hanya lintasan ide-ide dalam lajur cepat.
malamku aku bangun juga tengah malam. bukan dengan soal-soal latihan. hanya dengan huruf-huruf yang coba kurangkai.
pagiku aku jelas mengantuk.
dalam tidurku dimeja kelas, mimpiku bukan tentang senangnya mengerjakan soal dengan baik. hanya tentang leganya menyelesaikan bait terakhir huruf yang pernah coba dirangkai.
mataku bukannya melihat betapa banyak saingan di depan mata. hanya melihat betapa bertebarannya itu inspirasi yang bisa dimasukkan saku baju.

aku menderita.
bisikan-bisikan untuk fokus itu ada dimana-mana. sayang, katanya.
sayang kok bikin menderita.
katanya hidup butuh pengorbanan. katanya aku harus menjadi sukses.
tahu apa mereka tentang pengorbanan?
tahu apa mereka tentang aku?

memang ada juga kepinginan jadi seorang akademisi. kelihatannya sibuk, banyak menulis, banyak berpikir, banyak membaca. menyenangkan?
iya, kelihatannya. daripada lulus lantas luntang lantung?
aku ini kan cepat bosan.

beruntunglah mereka, aku masih ada kepingin. jadi adalah semenit untuk belajar apa yang dimaui mereka, dimaui institusi kependidikan.
tapi bukan yang menyerahkan seluruh hidup pada apa yang dimaui itu. kasihan pada yang amat kepingin. nanti aku mengambil jatahnya. adil itu kan dibikin sama sendiri juga.

ah tapi ada satu hal utama yang menjadikanku amat menderita.
yaitu aku sayang mereka.
meski aku ini egois tapi apa dayaku pada yang namanya sayang. jadi lantas tangan itu akan kuganti jadi memegang buku pelajaran. dan malamku dengan soal latihan. tapi maaf tidak untuk lintasan ide-ide, mimpi dalam tidur, dan pandangan mataku. eh, sudah bilang kan aku ini egois?

ah
mereka juga yang bakal sedih. saat nanti mereka memberi selamat dan tertawa-tawa karena dimata mereka aku sukses, padahal saat itulah aku perlahan mati.

20091102

ayo

oh my
ayo!
ayo mulai!
ayo mulai belajar!
ayo mulai belajar besama!
ayo mulai belajar bersama demi mencapai cita-cita!
ayo membuat cita-cita bersama.

kisah biasa

sebelum kamu ada, saya masih bisa tertawa
hanya saja saat kamu datang
saya tertawa lebar
dan kamu pergi?
saya masih bisa tertawa.
sebelum kamu ada, saya memang kurang suka bercita
hanya saja saat kamu datang
kamu kasih saya wadah penampung cerita
dan kamu pergi?
ya saya memang tidak butuh cerita.
sebelum kamu ada, saya dingin dan pemendam
hanya saja saat kamu datang
saya mencair dan agak mengeluarkan
dan kamu pergi?
saya membeku dan menutup.
ini hanyalah kisah biasa.