Saya pernah ingin mencoba menelanjangi diri dengan melepas semua atribut identifikasi diri bersama seluruh nilai-nilainya. Dan hasilnya nihil. Dengan adanya percobaan tersebut saja menunjukan bahwa saya menganggap diri yang telanjang adalah lebih baik daripada yang memakai atribut identifikasi dan nilai. Bukankah itu juga termasuk dalam sebuah nilai. Apalagi ini bukan bentuknya bukan baju, melainkan kulit. yang ketika harus dilepas berarti saya melukai diri saya sendiri. Maka saya menghangatkan diri lagi saja, untuk apa melakukan hal yang tidak menyenangkan (sudah terlalu banyak ketidakmenyenang-an yang terjadi pada level realitas bukan).
Tanpa menelanjangi diri saya coba tempatkan saja diri pada posisi yang waras. Tadinya jari saya gatal untuk mengganti waras dengan kata benar. Tetapi lagi-lagi pada relativitas saya tunduk. Siapa yang bertanggungjawab atas nilai benar dan salah, apalagi untuk urusan yang berada dalam ranah ide. Kian kesini saya menjadi kurang berminat pada hal-hal yang berbau penyudutan. Yang menghakimi kebenaran. Yang mengucilkan segala kemungkinan diluar keyakinan.
Sebagian kaum disana bilang bahwa tidak ada itu namanya Tuhan. Saya sendiri tidak setuju sekaligus setuju. Pemandangan indah adalah mitos bagi mereka yang buta, atau menutup mata. Musikalisasi puisi hanya menjadi sebuah dongeng bagi mereka yang tuli, atau menutup telinga. Bukan, saya tidak hendak mengatakan kaum-kaum tersebut sebagai orang yang buta dan tuli. Bisa saja saya yang buta dan tuli, hanya menjalankan apa yang saya yakini walaupun telah melihat dan mendengar ini itu. Ketidaksetuju-an muncul dari saya sendiri sebagai seorang yang berkeyakinan. Setuju muncul dari pemikiran bahwa Tuhan memang berada dalam pikiran, jika sebuah kaum bilang tidak ada, maka akan seperti tidak ada saja bagi kaum tersebut. Maka kemudian benar saja tidak ada. Tok. Toh, yang berkeyakinan ada pun belum bisa membuktikannya dengan cara yang diinginkan sebuah ilmu pengetahuan, kan?
Kemudian berlanjut pada apa yang dinamakan Agama. Sebagian kaum disana menihilkannya dan menaruh kitabnya pada rak buku dongeng bersamaan dengan cerita Rumplestiltskin atau legenda Sangkuriang. Sebagian kaum lagi menjadikan ini sebagai tujuan kehidupan, bahwa apa-apa yang dilakukannya berasal dari sini, yang boleh dan tidak boleh, hingga membenarkan apapun yang dilakukan dengan alasan mengikuti perintah dari sini. Seperti sebuah ideologi yang berada dalam spektrum paling kanan ataupun paling kiri, bukankah semua orang seharusnya bebas berada dimana sesuai dengan apa yang diyakininya? Benturan mungkin terjadi ketika kaum yang berkeyakinan merasa lebih baik dan benar dibanding yang tidak. Atau sebaliknya. Pada intinya pada saat mengaku bahwa A lebih baik daripada B, terlebih lagi dengan begitu maka B harus diberantas. Atau bahwa B lebih baik dari A, maka A harus hidup dengan cara yang dilakukan B.
Saya menemukan suatu kebingungan yang mendasar. Sebuah paradoks yang menghantui sejak saya mulai mencoba mengerti. Jika memang A yang lebih baik, mengapa A tidak cukup rendah hati untuk membiarkan B berada pada keyakinannya? Juga sebaliknya. Saya tidak peduli apakah surga atau neraka itu nantinya benar ada atau tidak. Selama saya bisa merasa lega menjalani apa yang saya yakini dan saya tidak merugikan isi bumi akan apa yang saya perbuat selama hidup.
Jika suatu kaum banyak menyakiti-entah itu pada alam atau manusia-dengan alasan menjalankan apa yang ia yakini, bukankah egois sekali jika padanannya adalah surga yang nantinya hanya akan dinikmati oleh dia sendiri?
Wallahu a'lam bish-shawabi.
No comments:
Post a Comment