20081212

ulum

ada yang salah dengan ulum?(ada yang salah dengan sekolah?)

yep, ulum itu ulangan umum a.k.a ujian a.k.a uas(eh?)
praktisnya ulum itu ngetes kita selama ini belajar udah ngapain aja
hei, belajar berbulan-bulan itu di ulangankan kembali hanya dalam waktu satu setengah jam. hebat!
bentuknya ya apa lagi kalau bukan soal pilihan ganda, paling kreatif juga soal essay
haha kita nih yang udah belajar hampir duabelas tahun hafal bener karakteristik soal ulum
kalo ngga kata 'kecuali' yang jadi jebakan, soal fotokopian dari guru yang jadi soal, atau soal-soal di LKS(lembar kerja siswa) yang dicomot jadi soal ulum. ya, apa lagi?
sesungguhnya kita naik kelas adalah karena kita berhasil hadir dikelas tanpa onar(dikit-dikit mabal laa), berhasil membulat-bulat hitamkan berpuluh lembar jawaban dengan benar, dan berhasil mengcopy-paste tugas-tugas dari internet atau kelas lain(em, aib terbuka). ya, apa lagi?
apa lagi lu bilang?
ya jelas banyak laah. coba kita kaji dengan kemampuan anak SMA mengenai sekolah, berhubung kita sendiri sedang mencicipi(ew, mencicipi aja begini, apalagi memakan) pendidikan di negeri kita tercinta ini.
dari kecil banget ni ya, gue analogiin ada dua anak kembar(1 perempuan 1 laki-laki) hidup berdampingan
1:"mama mau cekolaah.."
2:"mama ngapain cih aku harus pake baju ini? ga sukaa"
mama:"iya kak ni kita lagi siap-siap sekolah kan. ade pake dong bajunya.. ini namanya seragam"

guru TK:"ini binatang apa?"
1:"buluung"
2:(uh, aku udah tau dali dulu itu namanya bulung)
guru TK:"berapa jumlah kursi inii?"
1:"emm lima buu!"
2:(iya kulsinya lima, yang disebelahnya itu tu gajahnya ada tiga, yang dibawahnya itu monyet, ada enam)
1:"kok kamu ga jawab cih dalitadi?"
2:"kamu mau aja dibodoin ama bu gulu."
1:"dasal aneh"

di lumah, eh di rumah. setelah beberapa minggu sekolah(udah ga cadel lagi ceritanya).
2:"ade mau main dirumah, ade gamau sekolaaah"
1:"mamaa adenya nakal"
mama:"ayo dong de.. mandi yu, udah jam tujuh ni liat"
2:"ade bosen maa.. ade udah bisa semuanya, ade ngapain sekolah disanaa"
anak 1 sedang dimandikan babysitternya dengan tenang
mama:"loh kan rame de.. ketemu temen-temen disana"
2:"dirumah juga ade punya temeen, lebih ramee"
mama:"temen ade dirumah kan ga sebaya, tuh udah pada kelas 2 SD, kelas 3 SD, nah mereka juga sekolah kan de.."
2:"ga mauuuuuuuuuu..." (menangis dan berlari menjauhi mamanya)
2:(mama ga ngerti, karena ga sebaya itu jadi rame.. (huks) aku ga tau cara ngungkapinnya)

mama dari dua anak itu akhirnya membiarkan si ade ngga sekolah berhari-hari
lalu berkonsultasi dengan guru TKnya mengenai si ade.
belakangan baru diketahui ternyata si ade pinternya ga ketulungan, IQnya tinggi, yang lebih dibutuhkan si ade adalah penanganan EQ yang ekstra bukan pengajaran dasar biasa.


okey, analogi selesai kita balik lagi ke dunia nyata, lagi mengkaji sekolah kan kita?
hhh(kenapa jadi pengen menarik napas dalam ya), siapa yang ngga kenal kata 'wajib belajar'?
bagi gue sih kata itu kontradiktif, em riddiculous
wajib belajar itu kan berarti kita wajib, belajar
yakinkah dengan wajib belajar itu sarana yang dibutuhkan adalah sekolah yang seperti sekarang?
yakinkah dengan 9 tahun sekolah itu kita berarti belajar?
apa si ade tadi tanpa sekolah di TK bisa punya kemampuan yang sama dengan si kakak yang rajin bersekolah?
anak pesisir yang sedang belajar menangkap ikan pada jam sekolah lalu dia tidak belajar?
lalu apakabar dunia kalau belajar disandingkan dengan kata wajib?

belajar adalah hak, hei wahai umat manusia
sebagai manusia yang lahir ke dunia, kita punya hak untuk belajar, untuk mendalami yang kita ingin capai, untuk mencari tahu yang kita tidak tahu
nah
pemerintah menyediakan sarana untuk kita belajar adalah wajib. nahloh.
keadaannya seperti hari kebalikan sekarang
kita 'wajib belajar'('wajib sekolah', gue lebih condong ke diksi itu) dan haknya pemerintah mau nyediain sarana yang layak atau ngga.
hahah, gue aja anak SMA pengen ketawa(miris) dibuatnya

ew,
sebelum kita bisa mengubah yang tadi kita tertawakan
mendingan kita jadiin semuanya ga sia-sia dulu yu?
yang bikin sistem sekarang bukan orang bodoh loh, nah yang pengen memperbaiki juga harus bukan orang bodoh dong.. :)

(jangan berhenti tanya kenapa, jangan berhenti melihat dengan mata hati)

3 comments:

Andhika Nugraha said...

kenapa pendidikan dasar sembilan tahun dijadikan wajib oleh pemerintah?

karena di luar lingkaran kecil kita dan teman-teman kita, ada saudara-saudara kita yang tidak pernah mengimpikan tentang sekolah. karena mereka tidak pernah diajarkan atau diharapkan untuk bermimpi, dan hanya diinginkan untuk hidup mencari uang, menghidupi diri mereka dan keluarga.

paradigma itu pernah ada, sekarang masih ada, dan untuk itulah wajib belajar dilaksanakan. supaya anak-anak ini tidak menyia-nyiakan masa kecilnya yang reseptif. supaya anak-anak ini bisa memberi perubahan yang berarti bagi lingkungan, bangsa, dan dunia.

lalu kita kembali ke lingkaran kita dan teman-teman kita, dan kita lihat bahwa kita tidak puas dengan sistem pendidikan yang kita tempuh selama ini, dengan sekolah yang kita pilih bersama orang tua kita (atau orang tua kita pilih bersama kita?).

solusi paling mudah, untuk diri kita sendiri, adalah untuk pindah sekolah. banyak kok, sekolah-sekolah yang berbeda dengan sekolah pada umumnya dan lebih baik dalam melayani dan memuaskan bakat siswa-siswanya. bagi diri kita, logikanya sih itu akan lebih memuaskan bakat-bakat terpendam yang pengen banget meledak keluar.

itu kalau kita mau menanggung biaya yang (biasanya) lebih mahal.

lalu, dengan sistem yang sekarang berlaku secara nasional. kalau kita lihat dari dekat, dalam lingkaran pertemanan kita, dalam sekolah kita (sman 3 ehem ehem), apakah benar sistem pendidikan kita gagal total?

saya rasa tidak. untuk sman 3 secara khusus, outputnya terbukti capable di berbagai bidang.

pada sistem secara nasional, perubahan massal seperti yang kamu bicarakan di post ini, tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. we are getting there, but it's a process that takes bit by bit, and does not work with big chunks at a time.

pertama, kalau kita pake analogi kamu, apakah semua anak kecil bisa seperti si ade? saya rasa tidak - umumnya justru akan seperti si kakak. apakah itu selalu buruk? saya rasa tidak, karena perbedaan mendasar di antara mereka adalah IQ, sebuah faktor yang ditentukan sejak lahir dan secara teoretis tidak akan berubah (mungkin ASI atau gizi waktu kecil yang menunjang pertumbuhan otak, but that's most probably it). kalau sebenarnya mereka sama saja, dan lahir dengan kemampuan berpikir kritis yang sama, kenapa dari awal si kakak tidak berpikir sama seperti adiknya?

manusia lahir berbeda-beda. ada beberapa orang, beberapa anak yang lahir lebih cerdas daripada anak lainnya. that's the way of nature, and one system can't handle them all in the same way and expect the same results.

banyak kok, guru dan sekolah yang baik, yang memfasilitasi mimpi, yang bisa mengurus berbagai macam orang. tapi dari segi sistem... tidak banyak yang dapat dilakukan. kita butuh orang untuk menjadi guru yang baik, itu benar, tapi sebuah perintah dari Depdiknas yang menyatakan "semua guru harus baleg" tidak akan berguna tanpa niat dari guru-guru itu sendiri.

hahaha, gue ngomong apa sih.

Tita Adelia said...

ah ya
untuk sesuatu yang makro selalu ada ketidakbetul-an mikro yang dikorbankan

presentase nya ga sebanding yang lu bilang banyak itu
untuk 'getting there' gw yakin sejumput anak-anak sekolah unggulan lainnya aja yang udah berpikir kearah sana
sisanya?

lks kota jadi salahsatu bayangan gw untuk ngeliat kondisi kaya apa pendidikan di negeri ini, em di kota ini khususnya

Anonymous said...

kamu bilang, "hei, belajar berbulan-bulan itu di ulangankan kembali hanya dalam waktu satu setengah jam. hebat!"

aku bilang,"hei, belajar berbulan-bulan itu di ulangan susulankan kembali hanya dalam waktu kurang dari satu setengah jam dan satu hari 4 pelajaran. walaupun kamu ngga ikut ulangan umum asli karena berusaha mengharumkan nama sekolah (bahkan negara) selama 2 minggu jauh dari orang" yang kamu sayangi, tetep aja kamu harus dibebani ujian itu. hebat sistem pendidikan di Indonesia!"

ah, gue lebay ya.. haha