20120617

Hari Ayah?

Adalah hari yang tidak beda dari hari-hari lainnya.
Mungkin memang aku yang bukan tipe orang okasional.
Tapi mungkin khusus untuk hari ayah yang ke sembilan belas tahunnya ada, aku ingin menulis satu saja.

Tidak perlu lagi mungkin untuk membahas betapa dirinya berpengaruh pada diriku sekarang.
Sama saja seperti membahas langit siang yang berwarna biru. Kutub utara yang dingin. Jakarta yang padat. Sudah jelas.
Malah derajatnya bukan lagi sekedar pengaruh. Jika dikonsepsikan manusia sebagai kumpulan dari persepsi, maka lima puluh persen diriku adalah cara ayahku menjalani hidup.

Maka jika diriku terlihat begitu plegmatis dan tidak senang dengan konflik. Beliau juga begitu. Sejak lahir hingga sekarang, turun naik kehidupan dari punya rumah gedongan rumah biasa hingga yang sempit, aku tidak pernah dengar ayah sekalipun meluap-luap dengan emosinya. Aku tidak pernah sekalipun mendengar teriakannya pada ibu, atau pada anak-anaknya termasuk aku.
Apapun kesulitannya, aku tidak pernah liat beliau harus melepaskan emosinya didepan kita semua, didepanku.
Maka dari situ aku belajar untuk mengenal yang namanya pengendalian diri. Bahwa yang kuhadapi hingga kini adalah belum seberapa dibanding apa yang telah beliau hadapi.

Beliau sukanya berolahraga dan tidak begitu senang makan banyak. Tidak begitu senang menghabiskan uangnya pada makanan-makanan over-prices. Berapapun lebih banyak dikeluarkan untuk perlengkapan olahraganya. Harga sepedanya bisa membuat ibu cemberut. Belum perlengkapannya yang lain.
Suatu pagi aku pernah terkejut dapat panggilan dari UGD rumah sakit Borromeus di Bandung. Ternyata itu ayahku yang pingsan dijalanan. Selagi bersepeda.
Beliau pantang menyerah. Tapi juga kadang melampaui batas kemampuannya.Untungnya setelah diopname sebentar dia kembali tertawa dan terlihat baik-baik saja.

Beliau tidak ingin dipekerjakan dibawah orang lain. Dibalik plegmatisnya terdapat juga keras kepala yang langka. Bahwa beliau inginnya menjadi lapang pekerjaan bagi yang lain.
Pada masanya aku pernah punya banyak karyawan. Ketika aku mampir aku ingat mereka semua menyambutku dengan baik. Satu yang bertugas mengantarku ke sekolah, rambutnya keriting dan badannya kurus. Aku tidak tahu ia dimana sekarang. Satu yang menemaniku dirumah ketika semuanya pergi juga rambutnya keriting, kulitnya hitam manis, ia perempuan. Yang selalu bilang aku harus makan dulu sebelum ditiupkan balon yang bisa diisi air untuk kemudian aku main air dihalaman belakang. Lalu yang kuingat adalah pergi bersama mereka ke Pangandaran. Ayah menyewa satu entah dua bis aku tidak ingat, untuk membawa mereka semua ke pantai. Disana aku bermain-main bersama anak-anak karyawan, tidak ada bedanya antara aku dan mereka. Yang ada hanyalah aku lebih beruntung mungkin. Yang kuingat lagi adalah ayah memberi banyak orang tempat bekerja dan juga kekeluargaan. Maka yang paling kuingat, lagi, adalah ketika semuanya pergi dan hidupku juga berubah tidak perlahan.

Aku tidak pernah bermasalah dengan sekian perubahan, pindah dari rumah ke rumah, dari satu keadaan ke keadaan lain. Karena aku tahu aku pernah amat sangat beruntung. Bahwa ayah telah memberikan pondasi untukku kemudian menjalani hidupku dengan siapapun nanti. Bahwa apapun yang terjadi, aku harus tetap mempertahankan keluarga. Bahwa apapun yang terjadi, tidak mungkin tidak ada yang tidak bisa dihadapi.

Maka pada hari ayah ini mungkin cukuplah aku meracau kesana-kemari.
Selamat hari ayah, para ayah yang membaca atau pun para calon ayah atau para ayah yang kabur dari kodratnya.

 



No comments: