20090811

Kartipah

pesawat kapal udara

bisa terbang tinggi katanya,
Kartipah dulu ingin terbang tinggi, melihat pesawat sedang terbang matanya tak berkedip, tak bisa berhenti memandang, menerawang.
Kartipah bukan gadis kampung biasa, dirinya molek, tubuhnya indah, wajahnya sempurna. Wanginya semerbak, bukan menyengat. Tutur kata khas ningrat. Kebiasaannya memendam dan tersenyum. Kemasannya seperti gadis kota, isinya gadis kampung lugu yang pintar. Bukan tipe dibodohi, bukan yang dicurangi lalu diguna-gunai.
Pada waktunya Kartipah remaja beranjak dewasa, lelaki yang mendekatinya banyak yang menyodori cinta, bukan cinta monyet tapi cinta sepanjang masa, seumur hidup katanya, sehidup semati mereka bilang. Tapi Kartipah tak pernah melanjutkan hubungan dengan satupun lelaki yang menyodorkan diri, Kartipah memonyetkan cinta mereka, apa daya, para lelaki datang dan pergi tak dapat memaksakan hendak.
Remaja Kartipah benar-benar diujung tanduk, Kartipah beranjak dewasa, matang, tak sedikit teman-temannya sudah bersama lelaki, lelaki yang sehidup semati katanya. Bukan masalah besar, tak sedikit juga teman-temannya yang masih mencari calon, calon seumur hidup mereka bilang. Kartipah memang banyak temannya.
Satu-satunya yang menemukan kejanggalan hanyalah Isam, Isam temannya Kartipah, yang paling dekat, yang tahu Kartipah dari bayi merah, yang menjalani masa ingusan bersama, adalah tetangga, adalah saudara, satu-satunya lelaki yang pernah mandi bersama tapi tidak menimbulkan dosa. Lelaki yang menyodorkan cinta pada Kartipah tidaklah jelek, atau miskin, atau tidak beradab, atau berbeda agama, tapi Kartipah tidak ingin dengan mereka. Begitu dia bilang. Kenal barang sebulan dua bulan lalu jauh lagi, selalu begitu. Apa yang salah, siapa yang salah. Isam tidak tahu, dia hanya penasaran diam-diam. Kartipah hidup saja dengan normal, paling beberapa menit dari harinya yang membuat dia agak tidak normal, memandangi pesawat terbang, menerawang ke awan.
Dewasa Kartipah sudah berjalan lama, tinggal beberapa temannya yang masih mencari calon, temannya yang memang jauh dibawah Kartipah jika dibandingkan, baik fisik, isi, ataupun keadaan.
Isam masih penasaran namun tidak juga mendapat jawaban. Lelaki seperti apa yang diinginkan temannya, apa yang jelek, miskin, dan bertolak belakang dengan lelaki yang selama ini menyodorkan cintanya?
Isam merasa menemukan sedikit jawaban. Isam lelaki. Bukan cuma penasarannya saja yang diam-diam, perasaannya juga dia simpan diam-diam. Isam mempersiapkan diri untuk melamar Kartipah pada suatu hari. Isam pikir dia sudah cukup dekat dengan Kartipah, lebih dari cukup.
Hari itu datang, malam harinya Isam termenung, tercenung. Tak menyangka dia mendapat penolakan, meski halus tetap saja penolakan. Beberapa hari kemudian Isam bangkit lagi, meneruskan hidupnya, menjalani pencariannya. Baiklah jika memang bukan Kartipah, dia pikir.
Kartipah masih disana, perawan molek yang entah menunggu apa, hanya dia dan Tuhan yang tahu. Orangtua Kartipah mulai risih, ada apa dengan anaknya ini, orangtua sayang anaknya, membiarkan pilihan jatuh pada Kartipah, tak ingin menggangu jalan hidupnya, hanya ingin Kartipah bahagia, meski jadi perawan tua atau apa, pilihan benar-benar jatuh pada Kartipah, sepenuhnya. Meski mereka di
kampung, sudah bukan zamannya Siti Nurbaya. Lagipula orangtua Kartipah bukan fakir, tidak terlilit utang, ataupun memiliki masalah yang berarti.
Pesawat terbang masih lewat dengan sendirinya, Kartipah masih melakukan ritual memandanginya, menerawanginya.
Waktu terus berjalan, pesawat terbang juga terus lepas landas di jalurnya.
Isam menemukan calonnya, wanita sepanjang masa, katanya. Pada harinya Kartipah diundang. Tak ada masalah, semua senang. Istri Isam ternyata temannya Kartipah juga.
Setahun berlalu, Isam ingin mewujudkan keinginan istrinya, hidup di kota, tinggal dan bekerja di sana, di pusat segala pusat. Isam memang menabung sedari dulu, untuk hidup bersama Kartipah tadinya.
Beberapa hari sebelum pindah baru ketahuan ternyata istri Isam sedang mengandung, sudah dua bulan ternyata. Kartipah pun mendapat kabar, dia ikut senang tentunya. Isam akan pindah ke Jakarta, tadinya naik kereta saja, perjalanan delapan jam bukan masalah bagi dia dan istrinya, tadinya. Tapi Isam sayang istrinya, juga calon bayinya, terlalu sayang. Isam memutuskan untuk naik pesawat terbang saja, tak apalah lebih mahal, demi istri dan calon anak, dia pikir. Semua barang-barang sudah dipaketkan ke Jakarta.
Saat hendak membeli tiket pesawat terbang Isam teringat sesuatu, Kartipah, dan kebiasaannya memandangi pesawat terbang. Kebiasaan yang pasti teringat sebagai teman dekatnya, walaupun tak pernah dipermasalahkan. Meski pernah ditolak, Isam tak terlalu memikirkan, entah apa pertimbangannya Isam membeli tiga tiket. Buat Kartipah, hatinya gumam. Tanpa memikirkan untuk apa Kartipah jauh-jauh ke Jakarta.
Pulang beli tiket Isam mampir ke rumah Kartipah. Sudah lama sekali tidak bersilaturahmi, terhitung lama karena dulu hampir setiap hari dia kesana.
Kartipah ada di sana, sedang merawat rambutnya yang sudah indah meskipun tak dimacam-macam. Kartipah tersenyum sipu awalnya, akhirnya dia memeluk Isam erat, erat sekali. Lalu Kartipah menangis. Isam bingung, kenapa. Kartipah menanyakan kapan berangkat lalu lekas bersiap-siap. Isam masih bingung. Isam pulang kerumahnya.
Untuk terakhir kalinya Kartipah memandangi pesawat terbang yang lewat di awan terjamah. Kali ini Kartipah mengguratkan senyum, senyum yang entah apa artinya.
Istri Isam pengertian, cepat mengerti setelah diberi pengertian. Percaya saja pada Isam, tanpa tahu suaminya pernah melamar temannya itu.
Hari keberangkatan, orangtua Kartipah mengizinkan karena tahu kalau anaknya sedang ada kepentingan. Meski tak begitu tahu, kepentingan macam apa.


Sampai sudah di Jakarta, turun sudah Kartipah dari benda yang dipandanginya bertahun-tahun, diterawanginya detik ke detik.
Ditariknya lengan Isam ke tempat yang agak sepi. Kartipah berkata ia ingin menikah dengannya. Dengan Isam yang dulu ditolaknya. Isam bingung, dia pikir Kartipah bercanda, dan sedikit tersinggung karena lelucon Kartipah tidak lucu sama sekali. Tapi kali ini Kartipah serius, benar-benar serius, ingin menikah dengan Isam. Isam masih berpikir ini candaan. Lalu ia kembali lagi ke keramaian. Kartipah termangu.


Tahun-tahun berjalan sudah, Isam menjadi kakek dari empat cucu. Kartipah sudah tak ada. Tak ada.
Di kursi goyang di teras rumahnya Isam tersenyum, mengingat masa lalunya. Mengingat Kartipah, perawan molek tua yang hidup matinya tentang pesawat terbang. Yang ternyata bukan penduduk kampung asli. Pesawat pertama membawanya ke tanah tempat dia tumbuh, yang mana jatuh di sana dan menewaskan kedua orangtua kandungnya. Pesawat kedua membawanya kepada jodohnya, yang mana sudah beristri dan menewaskan angan tentang hidup bersama. Pesawat ketiga membawanya pulang, menewaskan dirinya. Isam tersenyum mengingat satu temannya itu.
Hidup yang berharga adalah hidup yang dimengerti diri sendiri. Meski akhirnya orang lain menganggap Kartipah benar sakit jiwa, Kartipah mengerti betul tentang hidupnya.

No comments: