20070802

Cinta Negeri Ini, Benci Sistem yang Ada

Acungkan tangan siapa yang muak mendengar kata ‘formalitas’? Ajukkan diri, siapa yang bisa memberitahu saya tentang arti hakiki dari pendidikan? Berdiri, bagi yang merasa sistem pendidikan pada tingkat SD-SMP-SMA di Indonesia sudah banyak yang melenceng dari prinsip-prinsip awal. Maju, bagi yang tak setuju kalau pintar adalah juara kelas.
Anehkah saya? Tidak. Cobalah resapi berapa banyak jiwa-jiwa yang tertekan dan terkikis potensinya oleh pilar sistem pendidikan indonesia yang kaku itu? Berapa banyak siswa-yang tidak seberuntung saya-yang berstatus bodoh berdasarkan patokan dari nilai ketuntasan berdasarkan keputusan depdiknas? Jadilah sekarang dunia Indonesia dipenuhi orang-orang seperti itu. Tak ada yang menyadari kalau sistem pendidikan itu bukan takdir, bukan, itu rancangan manusia terdahulu yang jika ternyata tak sesuai bisa diubah, bisa!(ya walaupun jika diubah tentu saja tidak mudah) maaf, saya klarifikasi, bukan diubah melainkan ‘diperbaiki’. Jangan sampai fatalisme sudah merasuk pikiran masyarakat kita.
Oke, belajar-ujian tertulis (praktek kadang-kadang), belajar-ujian tertulis. Yakinkah anda masih ingat pelajaran biologi kelas dua smp dulu, sedangkan sekarang anda kuliah di jurusan Ilmu Pemerintahan fakultas FISIP? Lalu, untuk apa buku-buku paket, lks, buku tulis yang anda beli pada waktu itu? Apa gunanya sekarang? Apa? Sebutkan sedikit saja.. anda tak dapat menjelaskan karena tak lain tak bukan adalah karena anda menuruti sistem yang sudah ada, karena jika tidak, ya anda tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bukan? Bukankah akan lebih berguna jika daridulu sudah anda pelajari ilmu-ilmu pemerintahan dasar sehingga sekarang anda sudah lebih menguasai ilmu tersebut? Tidak dilarang jika anda ingin menambah pengetahuan literatur mengenai biologi dengan cara membaca buku-bukunya yang menurut saya akan lebih dipahami daripada membaca dalam keadaan dipaksa guru. Sehingga umur semuda duapuluhlima tahun, misalnya sudah sangat menguasai ilmu itu, dan pemuda-pemudi yang berpikiran matang dengan ide-ide yang masih ‘fresh’ itu siap menangani Indonesia. Kenapa tunas bangsa ini tidak diberikan kebebasan menekuni bakatnya tanpa dibebani formalitas pendidikan yang mubazir itu?
Kenapa saya sebut mubazir? Coba berapa banyak siswa dinegeri ini yang benar-benar bersekolah dalam artian sekolah yang sebenar-benarnya? Segelintir siswa dinegeri ini yang berangkat sekolah dengan niat ‘menuntut ilmu’, selebihnya hanya ingin bertemu teman, bergaul, dan karena disuruh orangtuanya sekalian main keluar rumah, tak disadari kalau itu semua adalah mubazir tenaga, waktu dan biaya. Efisiensi waktu, itulah hal yang sering kita abaikan sehingga kita menjadi negeri yang tertinggal.
Kembali ke sistem pendidikan, selama ini, yang saya dan anak-anak negeri tahu, pendidikan adalah sekolah, sekolah adalah belajar, belajar adalah diterangkan guru, latihan soal, PR, ujian, dan target untuk mendapat nilai bagus.Ironisnya, sistem ini jauh dari dambaan yang membuatnya, berdasarkan pada apa yang saya lihat dan rasakan selama ini kenyataan yang terjadi ialah berbagai kelakuan yang melenceng dari prinsip pendidikan dilancarkan saja. Bukan sepenuhnya salah guru atau sepenuhnya salah murid jika proses menerangkan-diterangkan ini tidak berjalan sukses dan malah sibuk sendiri-sendiri, guru merasa usai menjalankan tugas ketika sudah mempresentasikan semua hal yang dibacanya tadi malam, murid merasa sudah menjalankan tugasnya dengan tahan duduk di bangkunya tanpa tahu apa sebenarnya yang dibicarakan gurunya itu. Apa yang sebenarnya mereka dapatkan kalau begitu? Nol. Latihan soal gampang saja, tinggal melihat pekerjaan teman, bahkan ada yang bayar temannya sehingga dia sendiri tidak menyentuh seujung jaripun soal-soal itu. Lalu, kalau begitu apa yang sebenarnya mereka dapatkan? Nol. PR, kasusnya hampir sama dengan latihan soal. Ujian, lebih menyedihkan lagi, sangat jauh dari tujuan awal dibuatnya ujian. Yang paling parah ialah target untuk mendapatkan nilai bagus, berbagai cara dari mulai menyontek, buka buku, sampai dengan memanfaatkan fungsi uang dilancarkan, tanpa menyadari kalau itu semua hanya usaha membohongi diri saja, yang penting nilai di rapor bagus dan dipuji orang sekeliling. Dan apa yang sebenarnya mereka dapatkan? Nol. Memang tidak semuanya anak-anak negeri seperti itu, tapi sebagian besar ya seperti itu. Apakah hal nyata yang mereka dapatkan setelah tiga tahun menghabiskan dana puluhan juta rupiah untuk sekolah? Kemana esensi dari pendidikan jika semuanya seperti itu? Masih pantaskah sistem seperti itu terus dipertahankan? Pantas, jika kita masih ingin jadi negeri tertinggal.
Langkah paling awal yang harus dilakukan sebelum negeri ini semakin jauh tertinggal ialah menumbuhkan kesadaran tinggi dan keinginan untuk maju. Susah jika hanya segelintir orang yang memilikinya, masalah pendidikan ini memang pelik, namun tak akan pernah selesai jika usahanya sampai menstatuskan ‘pelik’ saja tanpa ditangani lebih jauh.
Kini saya belum bisa bertindak banyak untuk itu, karena saya bukanlah seseorang yang dipercaya dan berpengaruh di negeri ini, tapi saya akan ikuti semua sistem pendidikan yang ada sekarang dengan sebaik mungkin, menjadi orang, baru saya akan lakukan suatu tindakan untuk negeri yang saya cintai ini.

No comments: