rasa-rasanya baru kemarin sore saya daftar di sekolah bermarkas di jalan belitung itu.
baru kemarin sore saya merasa senang dengan nem terbaik dikelas dan sepuluh besar disekolah, dan rasa bangga yang menyusup malu-malu dan rasa ingin tangan menulis sman 3 sebagai pilihan pertama yang juga menetas malu malu rasanya masih bisa terasa.
karena hanya rasanya, maka hari ini saya menyusuri jalan yang biasa saya lewati tanpa pikir panjang dengan angkutan kota. menyusuri dengan berjalankaki. jalan kaki dari belitung ke tempat tinggal, tidak membuat kematian malah menghidupkan memori. menghidupkan, sampai sakit kepala (entah karena hidupnya berjuta memori atau karena terlalu lama kepanasan).
pada langkah pertama saya tidak yakin badan saya kuat. ah, tapi kemudian saya berpikir. jika saya kuat menamatkan sekolah disini masak jalankaki saja tidak kuat?
lagipula saya sedang senggang. sangat senggang. sangat sangat senggang. dan cukup sehat.
saya tidak sendirian, musik menemani.
sedang asyik mendengarkan, berkelana lewat pikiran, mensyukuri, dan badan terus berjalan, dalam setengah perjalanan terasa, kaki kesemutan. lalu saya merasa amat bodoh, amat sangat bodoh. mengapa ada hari-hari pada waktu sekolah dimana saya tak bisa melihat anugerah tuhan. diberi kemampuan untuk naik angkutan umum setiap pulang dan pergi setiap hari? bukankah itu suatu anugerah yang amat besar? saya tidak bisa membayangkan kalau kegiatan yang sedang saya lakukan ini harus dilakukan setiap hari, pulang dan pergi.
ketika kaki kesemutan saya tak berhenti, sama seperti pada saat saya amat sangat jenuh sekolah dan saya tak pernah berhenti. saya tidak pernah akan berhenti.
saya berjalan seperti orang kerasukan, sampai tigaperempat perjalanan saya sadar kaki amat lecet dan keringat membasahi seluruh baju. tapi bukankah saya juga menjalani masa di belitung ini seperti orang kerasukan walaupan sadar hati lecet dan keringat membasahi seluruh nurani.
saya mendengarkan musik seperti orang tuli. saya menulikan diri. seperti saya menulikan diri di belitung dari segala macam penyimpangan yang banyak orang-orang yang teriakan ke telinga saya. saya menulikan diri dan terus berjalan. saya menulikan diri dari apa yang tidak bisa saya dengar untuk lebih jelas mendengar apa yang lebih baik saya dengar. tahu dari mana yang tidak bisa dan yang lebih baik? kepada waktu, saya belajar.
bohong saya berjalan tidak sendirian, saya berjalan sendirian. musik tidak ikut berjalan, dia keluar dari teknologi yang saya taruh di tas, dia tidak punya kaki. tapi walaupun musik tak ikut berjalankaki, saya tidak kesepian. kesepian adalah ketimpangan harapan dengan kenyataan mengenai hubungan. saya tidak berharap apa-apa tentang hubungan. saya berjalan sendirian seperti masa di belitung. tapi saya tak kesepian, ada banyak zat yang menemani saya walaupun mereka tidak menjadi pasangan perjalanan saya.
saya sampai ditempat tinggal, siapa yang tahu saya habis berjalan? perih keringat dan kesemutan siapa yang rasa, sampai ditujuan saya inginnya berselonjor kaki mengistirahatkan dia yang minta tolong keperihan. tapi siapa peduli mengenai kelelahan, sampai ditempat tinggal saya masih harus melakukan banyak hal. sama seperti masa di belitung, siapa peduli mengenai kelelahan, saya masih harus melakukan banyak hal.
mungkin perjalanan yang lain tidak seperti ini, dan pasti tidak seperti ini.
tapi seperti apa pun itu saya yakin, perjalanan ini menorehkan bekas di lubuk paling dalam dan ingatan yang tak pernah bisa dihapus. cukup, telah cukup waktu saya di belitung.
saya siap untuk perjalanan selanjutnya.
No comments:
Post a Comment